LELAKI itu membangun rumah entah untuk siapa. Kalau untuk
anak-anaknya kelak, kenapa ia tak sempat menulis sepucuk surat wasiat?
Sebelum kematian tiba, dia hanya meninggalkan dua lembar uang seratus
ribu rupiah di almari tua, yang penuh debu dan dendam.
Uang itu, secara kebetulan, aku temukan seminggu selepas dia
dikebumikan. Aku bergetar, nyaris pingsan dan sampai kini masih terus
dihantui pertanyaan; apa salah dan dosaku sampai uang itu tidak sempat
ia sentuh untuk membeli obat di saat kematian mau menjemput?
Aku terpaksa pulang hari itu seusai ibu menelpon dan bercerita kalau
ayah sakit, terbaring di rumah sakit. Ritmis napasnya mirip gerimis yang
turun di suatu senja, murung, dan tak bergemuruh ketika aku tiba di
rumah sakit petang itu. Kening ayah yang penuh dengan kerut-marut, tanpa
aroma, seperti menguapkan kesedihan tatkala aku mendekat dan duduk di
ujung ranjang.
Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku
tahu ayah tak punya harapan hidup lagi dan air mataku seketika mau
tumpah. Sebuah air mata penantian seorang anak yang pulang disambut
dengan kebisuan karena ayah tak sadarkan diri, terbaring seperti patung.
Karena itu, ibu sengaja membiarkanku terpaku menatap wajah ayah.
Duduk bersidekap sedih di ujung ranjang ayah yang terbaring koma,
kembali mengingatku retak kisah sepanjang malam ketika aku masih remaja
dulu. Ia nyaris tak pernah keluar malam sampai aku setengah mati
membenci ayah. Dia nyaris hanya menghabiskan malam, selepas dari
mushalla untuk menunaikan shalat jamaah, lalu mendengarkan radio tua,
menutup koran usang, lalu beranjak tidur. Hari-hari ayah, selalu berlalu
dengan ditemani radio tua yang berderak, koran bekas dan sisa napas
yang tersengal di ambang malam saat ia terbangun untuk menunaikan shalat
tahajud.
Saat itu aku masih remaja. Tapi aku nyaris tak mampu melupakan malam
yang melukai kalbu, sewaktu tuntutanku pada ayah untuk masuk STM tak
dipenuhi. Aku kemudian menghabiskan malam-malamku di luar rumah, pulang
tengah malam atau menjelang pagi. Aku selalu gemetar mengetuk pintu,
karena ibu yang selalu membukakan pintu dan bertanya, “Dari mana saja
kamu?”
Aku tak pernah merasa perlu untuk menjawab pertanyaan ibu. Aku
kemudian menerabas ke kamarku dan menutup pintu dengan rapat.
Malam-malamku selalu berlalu dengan kepulanganku yang menyedihkan.
Untung kegelapan membuatku berani menatap langit dan tak lagi
sakit-sakitan. Jadi, aku tak lagi takut pada malam dan selepas es em u
(SMU), aku memutuskan pergi dari rumah.
Dengan doa ibu, aku kemudian kuliah dan bisa lulus. Dan selepas
kuliah, aku kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup layak di Jakarta.
Tetapi, aku seperti anak hilang yang lupa jalan untuk pulang. Aku baru
pulang saat ayah sudah terbaring, setelah hampir dua setengah tahun tak
menginjakkan kaki di beranda.
Kepulanganku itu bermuasal dari sebuah peristiwa yang tidak
mengenakkan. Aku tiba-tiba terjerat rasa iba, tepat pada hari aku
menerima gajian di bulan pertama kerjaku. Aku lalu mengirimkan uang dua
ratus ribu rupiah lewat wesel buat ayah karena aku dengar ayah sudah
mulai sakit-sakitan.
SEMINGGU setelah aku mengirim uang itu, ibu menelponku. Aku kaget,
karena ibuku nyaris tak pernah menelpon. Aku pikir ibu akan bertanya
soal kiriman uang itu. Tapi dugaanku ternyata salah. Ibu justru
memintaku untuk segera pulang, karena ayah jatuh di kamar mandi.
Pingsan.
“Cepatlah pulang!” pinta ibu dengan suara getir yang kudengar dari
gagang telepon, serasa menguraikan air mataku di ujung kelompak mata
untuk segera tumpah.
Setelah minta izin dari kantor, aku segera pulang. Tahu kalau ayah
dirawat di rumah sakit, aku merasa tak perlu mampir ke rumah melainkan
langsung ke rumah sakit. Ada rasa hampa tatkala aku memasuki halaman
rumah sakit, menyusuri bangsal demi bangsal dan kemudian sampai di ruang
ICU, di mana ayah dirawat.
Saat memasuki ruang ICU itu, rasa cemas membuatku gemetar. Aku merasa
sedih, dan dalam hatiku tiba-tiba tebersit pikiran jika sampai ayah
meninggal dan aku belum sempat meminta maaf, tentu aku akan menjadi anak
durhaka.
Aku terus berjalan mencari kamar ayah yang terbaring tak berdaya dan
desah nafas ayah sudah aku rasakan seperti naik turun di dadaku. Salah
satu tangannya tertusuk jarum infus, sungguh serasa menyiksa urat
nadiku. Ayah yang dulu gagah seketika seperti tak berarti lagi di depan
anaknya yang sedang berjalan mau menjenguk.
Aku dengar pula ritmis napas ayah mirip gerimis yang turun di suatu
senja, murung, sedih dan tidak bergemuruh ketika aku tiba-tiba menjumpai
sebuah ruangan saat aku longokkan kepala dan menjumpai ayah sedang
terbaring tidak sadarkan diri. Kening ayah penuh dengan kerut-marut,
tanpa aroma, menguapkan kesedihan saat aku masuk dan duduk di ujung
ranjang.
Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku
tahu ayah tak punya harapan lagi, dan air mataku serasa hampir tumpah.
Setitik air mata penantian dari seorang anak yang pulang disambut dengan
kebisuan karena ayah sudah tak sadarkan diri, terbaring mirip patung
ketika aku datang mau menjenguk setelah nyaris dua setengah tahun tak
pulang. Karena itu, ibu membiarkan aku terpaku meneliti wajah ayah.
Tetapi, tiba-tiba aku tergeragap setengah detik kemudian karena ibu
berucap, “Kalau bisa, kamu jangan balik ke Jakarta dulu sampai ayahmu
sadar dari siuman!”
Aku berpaling ke arah ibu, “Ya, Bu! Semoga ayah segera sadar.”
“Untung kakak sepupumu, Ahsanudin mau menanggung semua biaya rumah
sakit. Aku tak lagi memikirkan dari mana kau mendapatkan uang!” lanjut
ibu pelan, membuatku lega.
Lalu malam turun. Dari celah jendela, kulihat ada secercah cahaya
yang merekas dari daun pohon akasia di halaman rumah sakit yang mulai
gelap. Aku kemudian pamit kepada ibu untuk pulang ke rumah dan berjanji
akan besuk kembali esok hari.
HUBUNGANKU dengan ayah, bisa dikata cukup unik. Aku anak kedua dari
tiga bersaudara yang tidak ubahnya anak tiri. Ah, mungkin aku cukup
sentimentil untuk menyebut anak tiri. Tetapi, aku tak memiliki ungkapan
lain untuk menyebut hubungan musykilku dengan ayah. Mengharap
perhatiannya, aku seperti menanti kematian saja. Aku tak berdaya.
Mungkin ayah tak salah. Dari cerita orang-orang kampung, dari
pernikahan ayah dengan ibu memang tak segera dikarunia anak. Di usia
empat tahun perkawinan yang nyenyat, siapa yang tak sedih tatkala lahir
bayi yang ditunggu-tunggu, ternyata justru menghembuskan nafas tatkala
ibu mengejan kesakitan. Anak pertama meninggal, anak kedua ayah pun
bernasib serupa. Lalu, kakakku lahir ketika harapan ayah untuk menimang
putra itu terkabulkan. Jadinya, kakakku dimanja ayah sampai setengah
mati.
Ayah merasa ia sebagai lelaki tulen dan berjanji akan memenuhi setiap
permintaan kakakku. Keberkahan itu juga membuat aku lahir lalu disusul
adikku. Jadi kami tiga bersaudara, semua laki-laki. Tapi aku nyaris
tumbuh tanpa perhatian. Kasih ibu dan ayahku hampir sepenuhnya jatuh
pada kakakku dan adikku.
Kakakku menjadi lambang penyelamat keluarga
karena setelah nyaris ayah tak dikaruniai anak dan adikku, karena ragil,
juga selalu mendapat perhatian lebih. Aku terbengkalai, kalah. Apalagi
kakakku jadi lambang kegagahan ayah dan adikku jadi lambang kasih sayang
ibu.
Aku terjepit. Ayah selalu membela kakakku meskipun setiap kali
bertengkar dengannya, aku yang benar. Jika bertengkar dengan adikku, ibu
selalu berdiri di belakang ragil busuk itu. Aku? Jadi terbuang. Selalu
kalah. Tidak ada pelindung, membuatku tidak betah hidup di rumah.
Karenanya, saat aku beranjak remaja, aku menghabiskan malam di luar
rumah. Aku pulang untuk makan siang dan tidur.
Ayah gusar. Aku cuek karena aku menemukan kehidupan yang
membahagiakan di luar rumah meski penuh bahaya. Tapi hidup di luar rumah
telah mendewasakanku sebagai lelaki yang tak gampang menangis. Dan, aku
jarang diberi uang jajan oleh ayah, kecuali dengan cara yang menurutku
tidak adil.
Agar betah tinggal di rumah, ayah mengajariku ketrampilan menjahit
pakaian. Aku lalu digaji dengan uang sepadan dengan pekerjaanku yang tak
seberapa. Berbeda dengan kakak-adikku, mereka tinggal menengadahkan
tangan, tiba-tiba segalanya terpenuhi.
Lalu kakakku lulus SMU. Ayah melihatku bak anak durhaka. Sampai aku
kemudian lulus dari SMU. Tak juga mendapat simpati ayah. Jadi, aku benci
ayah setengah mati karena aku tidak mendapat perhatian. Tapi tiba-tiba
semua berubah. Saat teman-teman mulai kerja dan menikah, aku melanjutkan
kuliah, setelah menganggur satu tahun.
Lambat laun, menjalar rasa simpati ibu kepadaku. Apalagi, aku bisa
kerja sambil kuliah di tahun kedua. Juga saat aku mendapat pekerjaan
layak setelah lulus kuliah sementara kakakku dan adikku –yang juga
lulusan sarjana– masih nganggur di rumah, menjadi beban keluarga.
SESAMPAI di rumah, malam sudah larut. Aku kemudian meminta adikku
untuk menemani ibu berjaga di rumah sakit. Tak lagi kuasa untuk menahan
kantuk, aku tertidur setelah sempat mengobrol sebentar dengan kakakku.
Tetapi, sebelum rasa kantuk menerjang mataku, aku sempat berpesan untuk
membangunku tatkala subuh bergema.
Tapi, betapa terkejutnya aku ketika kakakku menggoyang-goyang tubuhku
di pagi yang buta itu. Aku tergerap, dan bertanya, “Apa sudah subuh?”
Aku merasa mataku masih belum cukup terpejam, dan belum juga kudengar
adzan berkumandang.
“Subuh bagaimana? Ayah sudah tiada!”
Deg! Hatiku ciut. Langit-langit gelap. Aku melangkah ke kamar mandi.
Membasuh muka. Lalu, ke ruang tamu, menyambut kedatangan jenazah ayah.
Tak selang lama, jenazah ayah tiba. Keluargaku sudah berkumpul,
membopong jenazah ayah masuk ke dalam rumah. Sekilas, aku lihat kakak
sepupuku, Ahsanudin duduk di teras. Aku tahu ia baru tiba dari rumah
sakit, tentunya setelah melunasi biaya perawatan ayah. Aku melangkah,
menyalaminya.
“Untung kau cepat tiba! Jadi, keluarga tak perlu repot-repot
menunggumu untuk pemakaman nanti,” ucapnya prihatin seraya menggapit
tanganku.
“Aku selalu memikirkan ayah, mas! Apalagi sejak kerja dan belum bisa membantu keluarga.”
Hatiku sungguh pedih, ketika itu. Rupanya, dia tahu apa yang ada di
dalam pikiranku. Aku sungguh menyesal belum membalas jasa ayahku, baru
bisa mengirimi uang dua ratus ribu, yang sama sekali tak ada artinya
bagi ayah.
Tidak ada angin, tak ada hujan, kakak sepupuku bangkit. “Dengan kata
lain, kau tidak akan pernah dapat membalas jasa ayahmu meski dengan apa
pun.”
Aku termangu. Di cakrawala, kulihat subuh belum merekah. Dan aku menunggu khitmad ayah dikuburkan di siang itu.
GENAP seminggu setelah pemakaman, aku membersihkan kamar ayah. Ibu
menyuruhku agar beliau tak terbayang mendiang ayah. Tetapi, ketika aku
membuka almari, tempat ayah menyimpan uang, aku tersentak karena
menemukan dua lembar uang seratus ribuan, tergeletak penuh dengan debu.
Aku berteriak kencang, memanggil-manggil ibu.
Sekitar setengah menit kemudian, di ambang pintu, ibu membuatku tersentak kaget, “Kamu pasti menanyakan tentang uang itu?”
“Kenapa uang itu masih utuh dan belum disentuh ayah, Bu?”
“Ayahmu tak mau menggunakan uang itu untuk membeli obat meski dia
sedang sakit di ujung usianya. Aku harap kamu tidak kecewa menemukan
uang itu masih utuh!”
Aku termangu, lalu duduk lemas di tepian ranjang. Aku sungguh tak
tahu, kenapa ayah masih menganggapku seperti orang lain. Apa aku ini
bukan anaknya?