Sabtu, 03 November 2012

Maafkan Aku Ibu

Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku telah melawan dan berbicara
Kasar kepadamu ibu

Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku tidak mau menjadi anak yang durhaka


Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku ingin menjadi anak yang soleh, pandai
Membantu orang tua dan tidak mau melawan kepada orang tua.

Ibu engkaulah segalanya bagiku
Ku berdoa kepada Allah agar dosa-dosaku terhadap ibu
Dapat diampunkan.


Ya allah, ampunilah dosa-dosaku terhadap ibuku
Ya Allah, maafkanlah kesalahanku terhadap ibuku
Ya Allah, hamba tidak akan mengulanginya lagi

Amin… amin… ya robal ‘alamiin.
Semoga dosa-dosaku diampuni Allah…



Sejenak Musahabah Diri




Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat Hari Raya Idul Adha..
Kulluh Antum Biqhoir InsyaAllah...

Teruntuk hati yang lemah dan iman yang sering goyah...
Ya Allah,aku sering menemukan “kecewa” dalam hidupku.aku sering merasa apa yang ada di lingkunganku tak sesuai dengan kehendakku. mungkin aku terlalu idealis,atau mungkio aku terlalu menganggap bahwa diri ini tak pernah ada cacat.

Ya Robbi.,aku serìng menuntut orang lain untuk berubah. Tapi,aku sering lupa menuntut diri untk berubah. Aku sering menuntut orang lain untk mengubah kondisi, tapi,aku sering lupa menuntut diri ini untk memberikan perubahan.

Wahai Robbi...yang jiwaku ada pada genggaman-MU,aku sering mengharap cinta dan perhatian dari mahluk-MU, tapi,aku sering lupa mengharap belas kasih-MU.
Ya Allah,, aku pun sering terlupa untk berusaha mendekati cinta-MU, sehingga tanpa sadar aku semakin jauh dari-MU.

Robbi...jika kutemukan lagi “kecewa” ,mungkin yang salah adalah hati dan iman ini yang ternyata sedang memudar.,jika kutemukan lgi “kecewa” mungkin diri ini banyak menuntut orang lain tapi tak pernah menuntut diri ini untuk mengubah kekecewaan...

Kini aku mengerti Ya Robbi... Bahwa aku berada di tengah-tengah kumpulan anak manusia yang tak pernah luput dari dosa. Mereka,saudara-saudaraku,bukanlah manusia setengah dewa apalagi malaikat. Mereka pernah salah,aku pun juga. Mereka pernah khilaf,begitu juga aku...

Ya Allah..yang salah adalah diri ini,yang enggan membuka pintu ma'af untuk saudara-saudaranya.karena ternyata, akulah yang harus berubah lebih baik untk mengubah kondisi menjadi lebih baik...
Aku hanya berkewajiban memberi yang terbaik untk siapa pun,bukan hanya menunggu untk menerima. Karena aku yakin Ya Robb,janji-MU adalah kepastian

Dakwah tak akan mati,tapi aku pasti akan mati. Aku akan mati sebagai pengemban Dakwah atau mati sebagai beban bagi Dakwah.? Hanya aku yang bisa memilih.... Maka,dalam keadaan hina dan tak berdaya,hamba memohon pada-MU Ya Robb.. Jadikanlah diri ini sebagai pemberi manfa'at bukan mudhorot.. Jadikanlah diri ini penyebar kedamaian bukan penyebar kerisauan,..
Aamiin...

Lukaku Dalam






Coba katakan sejujur jujurnya hatimu
Terhadap hari yang berjurai disimpulan senyum senyum kita

Sebenarnya aku harus berkata apa
Hingga sepimu tak menggenapi lukaku

Jika aku adalah kebencianmu
biarkanlah aku menulis semua mimpi
Diberanda ini
Tempat pergumulan kata
Yang berserak tanpa tersusun jemu

Jika aku adalah bahagiamu
Maka kenalilah aku seperti kau mengenal luka baru
Ingin kutuliskan segama jiwaku
Dilembar hatimu
Tentang siapa rindu ini kularungkan

Tapi jangan setimpal
Kau sengaja berada diatas angin
Melayangkan gurauan bayu dipinggangku

Karna aku ingin menulis terus sampai kau membisu
Dalam diamnya lukaku

Bagaimana Memilih Playgroup yang Sesuai Untuk Anak

Kenapa Gelisah Memilih Pendidikan Pra-Sekolah
Banyak orang tua yang begitu takut dan cemas ketika anak-anak mereka akan memulai menginjak masa pendidikan, padahal anak-anak mereka masih sangat kecil. Akan tetapi penelitian ilmiah menegaskan bahwa apabila sudah dipilih tempat yang cocok bagi anak, maka anak akan banyak mengambil manfaat dari sekolah itu.

Maka, anak-anak belajar akan segala sesuatu dari alam sekitarnya ketika bermain. Oleh karena itu, anda harus bisa memberikan kepadanya banyak permainan yang beraneka ragam di rumah. Akan tetapi banyak Taman Kanak-Kanak (TK) atau playgroup, kindergarten, pre-school, yang menyediakan sarana permainan yang tidak bisa disediakan oleh orang tua. Pada saat yang sama, maka anak anda akan banyak menemui kesempatan bermain dan berkenalan dengan anak lain secara lebih luas.

Secara alami, anak-anak suka mengamati dan pengen tahu terhadap lingkungan sekitarnya. Dan dengan memasukkan ia ke dalam TK atau Playgroup atau Kindergarten atau Pre-school, maka akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memulai belajar tanpa ada tekanan apapun. Maka, semua institusi di atas, bahkan mayoritasnya menjadikan “arena permainan” sebagai bagian yang pokok dalam jadwal aktivitas mereka, dimana hal itu dibangun di atas pemikiran “Anak-anak harus bisa mendapatkan porsi yang cukup akan permainan untuk menyempurnakan pendidikan mereka pada saat mereka memperoleh rasa capek dan bahagia”.

Juga, dengan anak-anak bermain bersama kawannya, maka ia akan banyak mempelajari “live skill” tentang “kompetensi sosial”, seperti: membangun kerja sama, bekerja bersama tim, memilih kawan, dan percaya diri.

Ummi, Aku Nggak Mau Pergi !!
Sebagian anak terkadang merasa cemas di awal-awal pergi ke TK atau Playgroup atau Kindergarten atau Pre-school. Akan tetapi, kecemasan anakmu jangan sampai mengalahkanmu, antarlah anakmu ke sekolah…Sebab, mayoritas TK bisa membimbing dan membantu anak-anak –karena mereka memiliki pengalaman yang bisa membantu anak-anak yang masih takut– agar tetap mau dan nyaman di sekolah.
Di sini ada dua pelajaran yang bisa dipetik seputar metode yang bagus dalam membiasakan anak dan mengembalikannya ke sekolahnya. Yang pertama: Engkau tinggalkan anak dan panggillah, ia akan menangis dan memelas terhadap apa yang dia alami pada awal-awal harinya. (Akan tetapi, apakah sang Ibu bisa menjadi pelipur hari sang anak yang menangis dan perasaan bersalahnya?)

Adapun pelajaran kedua, adalah berikanlah pelajaran kepada anakmu secara bertahap. Pertama, Jika mungkin tinggallah ia selama 30 menit, dan kembalilah kepadanya lagi dan teruslah bersamanya sehingga ia mampu merasa enjoy. Demikian seterusnya. Dan metode apapun yang engkau pilih, maka pastikan dirimu sudah menunjukkan buku-buku khusus tentang TK, dan bacakanlah kepadanya dari buku-buku itu kisah-kisah, serta ceritakanlah bagaimana keadaan sang anak pada pekan-pekan pertama ia masuk sekolah.

Apa Kelompok bermainmu yang Kamu Pilih
Sungguh, pengaruh TK atau kelompok bermain, merupakan contoh yang berbeda-beda tentang pengalaman dan pelihaian khusus tentang “usia pra-sekolah”. Oleh karena itu, sangat penting agar engkau benar-benar teliti dalam memilih sekolah mana yang engkau ambil sebelum memutuskannya. Maka, engkau harus benar-benar mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan, berapa jam sekolah per hari, plus manhaj apa yang dipegang oleh sekolah tersebut, sehingga kita benar-benar tahu arah sekolah itu.
Oleh karena itu, kunjungilah TK atau kelompok bermain yang engkau akan pilih sehingga engkau benar-benar mengetahui apa yang akan diperoleh anakmu di sekolah tersebut. Ada sejumlah hal yang bisa engkau perhatikan untuk mengetahui secara umum TK yang bagus atau tidak:
§  Bagaimana cara sekolah menemuimu ketika engkau sampai di TK tersebut? Apakah mereka menerimamu dengan penuh kegerahan? Apakah mereka memintamu untuk ikut duduk di salah satu kelompok anak-anak? Atau apakah mereka menerimamu seolah mereka benci dengan keberadaanmu di sana?
§  Apakah mereka mengajak bicara anakmu, apakah mereka mampu membawa dan erat dengan anakmu andai anakmu malu-malu atau minder?
§  Apakah terlihat mereka penuh dengan suasana bahagia dan ramah? Sekolah yang baik adalah dimana anak-anakmu merasa rileks, akan tetapi ia menyibukkan diri dengan permainan dan aktivitas lainnya, suka dengan lingkungan bermainnya.
§  Apakah sekolah itu memberikan kesempatan anak untuk berkreasi dan mengekspresikan jiwanya bersamaan dengan keberadaan orang dewasa disekelilingnya yang membinanya?
§  Perhatikan sarana ada di sana, apakah engkau lihat sarana dan prasarananya berwarna-warni dan alat tulis danbuku-buku? Dengan sarana itu, engkau bisa membaca apa yang akan diberikan TK tersebut dalam pendidikan dasarnya.
§  Carilah aktivitas yang dilakukan anak-anak, … Apakah hal-hal itu ditempelkan di dinding sehingga menjelaskan bahwa para pendidiknya menghargai apa yang dikreasikan oleh anak-anak.
§  Apakah TK tersebut memiliki halaman bermain di luar yang bisa dengan mudah dicapai dari gedung sekolah sehingga anak-anak bisa dengan mudah bermain-main?
§  Diskusikan dengan praktisi sekolah tersebut tentang permasalahan agama, perhatikan pendapat-pendapatnya, sebab mereka akan turut serta dalam mendidik anakmu.
§  Apakah proporsi jumlah praktisi sekolah dengan jumlah siswa cukup ideal?
§  Apakah sarana air bersih cukup dengan jumlah siswa?
§  Dan diatas itu semua, Anda mengetahui keadaan anak anda dengan baik, maka apakah TK tersebut benar-benar mendukung perkembangan anakmu atau tidak? Oleh karena itu, adan harus selalu mengiringi dia, sebab terkadang ia tidak bahagia dengan sekolah yang anda pilihkan . Bahkan terkadang ia merasa sumpeg (sempit dada). Pada saat seperti itu, anda harus selalu berada disampingnya di rumah pada beberapa bulan pertama, kemudian mulailah usaha dari awal lagi. Dan jangan anda cemas , sebab suatu saat akan datang masanya dimana anda berusaha menahan anak anda di rumah dan anda tidak mampu untuk itu!!

Apa yang Terjadi di Kelompok Bermain
Mayoritas kelompok bermain atau TK berjalan dengan satu kekhasan, yaitu mengajarkan sesuatu melalui permainan. Anda juga bisa membantu anak melalui cara yang beragam secara lembut, melalui aktivitas yang terprogram sesuai tahapan perkembangan psikologis dan kognitifnya.
Secara umum, program aktivitas sekolah anak-anak harus mengandung unsur-unsur di bawah ini:
§  Permainan bebas, dimana anak-anak bermain selama 1 jam kira-kira ketika baru sampai di sekolahnya. Dalam permainan ini bisa ditambahkan latihan mewarnai, bermain dengan peralatan rumah atau peralatan dapur (bagi perempuan), pakaian dan perhiasan, dll. Juga ditambahkan latihan menulis, menyusun sesuatu (bongkar-pasang), nasyid, dll.
§  Waktu istirahat, dimana anak-anak menyantap beraneka minuman, makanan ringan, kemudian urusan ke kamar kecil.
§  Olah raga.
§  Waktu bercerita, dimana anak-anak duduk mendengarkan dalam satu lingkaran mengelilingi pengajar atau walinya. Saat ini, anak-anak diberikan kebebasan untuk rileks –dengan tetap santun– sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

Tantrum



Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung….., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?
Temper Tantrum

Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.

Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2.       Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3.       Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4.       Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5.       Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6.       Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:

1. Di bawah usia 3 tahun:
  • Menangis
  • Menggigit
  • Memukul
  • Menendang
  • Menjerit
  • Memekik-mekik
  • Melengkungkan punggung
  • Melempar badan ke lantai
  • Memukul-mukulkan tangan
  • Menahan nafas
  • Membentur-benturkan kepala
  • Melempar-lempar barang
2. Usia 3 – 4 tahun:
  • Perilaku-perilaku tersebut diatas
  • Menghentak-hentakan kaki
  • Berteriak-teriak
  • Meninju
  • Membanting pintu
  • Mengkritik
  • Merengek
3. Usia 5 tahun ke atas
  • Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
  • Memaki
  • Menyumpah
  • Memukul kakak/adik atau temannya
  • Mengkritik diri sendiri
  • Memecahkan barang dengan sengaja
  • Mengancam
Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.

2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.

3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.

4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.

5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.

6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).

Tindakan
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut.Tindakan-tindakan ini terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
  1. Mencegah terjadinya Tantrum
  2. Menangani Anak yang sedang mengalami Tantrum
  3. Menangani anak pasca Tantrum
Pencegahan
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya Tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul Tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak Tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.

Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.

Langkah kedua dalam mencegah Tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?

Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.

Ketika Tantrum Terjadi
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:

1.       Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.

2.       Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.

3.       Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.

4.       Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya.Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: “kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih”; “kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong”), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan “mama/papa sayang kamu”, “mama ada di sini sampai kamu selesai”. Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.

Ketika Tantrum Telah Berlalu
Saat Tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika Tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.

Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.

Setelah Tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi Tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah Tantrum berikutnya.

Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah Tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika Tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi Tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang “sulit” dan mudah menjadi Tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar Tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat.(

Jumat, 02 November 2012

Untukmu Orang Tuaku

Bagaimanapun kondisi biologis dan jiwa orangtua, kasih sayang dan kelembutan adalah hak yang setiap hari didambakan anak. Berikanlah selalu anak anda kecupan selamat malam, walaupun mereka telah tertidur (widodo judarwanto, 2009)
  • Anak adalah untuk zaman yang akan datang,bukan untuk zaman kita.Salahlah pendidikan orang tua yang hendak memperbuat anaknya seperti mereka juga. ( Hamka).

  • “anda akan mengenali orang ini lebih dari yang orang lain tahu”
  • “Jika anda bisa memberikan putra atau putrid anda sebuah hadiah, biarkanlah itu sebuah semangat”
  • Anak bagaikan pohon rambat. Jika pohon rambat dibiarkan tumbuh sekehendak hatinya, maka akan tumbuhlah ke segala arah, tanpa tujuan, tak sedap dipandang dan akan mengganggu manusia di sekitarnya. Tapi jika diarahkan bahkan dibentuk, maka akan tumbuhlah sesuai dengan apa yang kita arahkan, maka keindahan yang terpancar dari tanaman itu akan berguna dan memukau orang disekitarnya. Maka rangkailah anak kita dengan jiwa seni, kasih sayang dan kelembutan, maka tanaman rambat itu akan menjadi bukan sekedar tanaman rambat.

  • Anda memiliki waktu seumur hidup untuk bekerja,
    Namun anak-anak hanya memiliki masa kecil sekali

  • “ sementara kita berusaha mengajari anak-anak kita pelajaran tentang hidup Anak-anak kita mengajari kita apa kehidupan itu.”

  • “Hal-hal terbaik yang dapat anda berikan kepada anak-anak selain tingkah laku yang baik adalah kenangan yang indah.”

  • “Bayi terlahir ke dunia dengan kebutuhan akan dicintai dan tak akan pernah berubah.”

  • “Bayi-bayi yang terlahir adalah salah satu cikal bakal akan adanya manusia-manusia di dunia.”

  • “Keluarga yang memiliki bayi dan yang tidak saling mengasihani satu sama lain.”

  • “Apa yang selalu dilakukan  ibu dan ayah yang baik sesuai dengan insting nya untuk bayi mereka adalah selalu yang terbaik dari apapun juga.”
  • “Keluarga adalah satu dari banyak nya keagungan karya alam.”
  •  Peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekerti mereka.Sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu. ( maksud hadis ).
  • Apabila mati seseorang anak Adam, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,sedekah jariah,ilmu yang diambil orang manfaatnya dan anak yang soleh mendoakannya. ( Maksud hadis ).
  • Anak yang ditinggalkan ayah jarang yang tidak luka jiwanya sampai besar. (pepatah Melayu).
  • Sewaktu kecil anak-anak lelaki menjadi perhiasan mata kerana lucunya,kerana dia tupuan harapan,maka setelah dia besar, dia menjadi kebanggaan kerana kejayaan hidupnya. ( Hamka).
  • Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil,senyum yang sebenarnya senyum,senyum yang tidak disertai apa-apa. ( Hamka ).

Belajar Lebih Penting Daripada Bermain?


Ibu: Arieeeeeeeef, kok masih juga main mobil-mobilannya, Mama kan sudah bilang dari tadi, kamu sekarang harus mengerjakan pr dari sekolah, sebentar lagi kan mau berangkat les kumon.
Anak: Aaaah Mama, nanti dulu deh, Arief kan mainnya baru sebentar banget, belum selesai nih Ma. Ini kan ambulans, ambulansnya lagi antar Lala ke rumah sakit, nggak boleh berhenti di jalan harus cepat sampai, kalau brenti-brenti kan kasian Lalanya, nanti nggak cepat sembuh. Brem brem brem brem breemmmmmmmmm

Sepenggal pembicaraan diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang bermain dengan mainannya. Mereka sangat menikmati waktu bermain sehingga tidak jarang mereka lupa makan, lupa belajar bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya jika sedang bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau belajar. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan maunya cuma bermain saja.

Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar? Jika mau melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 – 1980an), sebenarnya justru terlihat kalau anak-anak masa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bermain jika dibandingkan dengan anak-anak pada masa sebelumnya. Beberapa kritikan dari para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) karena sebagian besar waktu terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah sudah sangat sering kita dengar. Sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan ada yang sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer, dll. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan pr, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, jadi kapan dong waktu anak-anak untuk bermain? Lalu sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain?

Orangtua sekarang ini seringkali sangat ambisius terhadap anak-anaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh anak di sekolahnya. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk bermain hendaknya jangan diabaikan karena bermain adalah hal yang penting bagi perkembangan fisik dan mental anak.

Bermain
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.

Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah:

1.       Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
2.       Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
3.       Menyenangkan dan dinikmati.
4.       Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
5.       Dilakukan secara aktif dan sadar.

Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.

Manfaat Bermain
Membaca uraian tentang pentingnya bermain, orangtua mungkin berpikir hal-hal tersebut di atas bisa didapatkan anak dengan cara belajar (study). Malah dengan belajar anak bisa pintar, kalau main terus-terusan anak tidak bisa pintar. Pendapat ini ada benarnya juga, terutama jika kepintaran hanya berhubungan dengan kemampuan akademik seperti membaca, menulis dan berhitung. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kepintaran bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung, dan juga kemampuan akademis bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan hanya dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas dari segala beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.

Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia dan kemudian juga sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru, dan semua dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Orangtua akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) orangtua juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orangtuanya dan keluarganya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.

Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide originallah yang keluar dari pikiran anak-anak, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi orangtua. Mengingat bahwa tidak hanya orangtua yang mengalami stres, anak-anak juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari.

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?
Apakah anak perlu bermain? Tentu saja sudah jelas jawabannya bahwa anak perlu bermain. Mungkin yang dikawatirkan orangtua adalah kalau anak terlalu banyak bermain dan tidak mau belajar. Kembali kepada ilustrasi awal, yang perlu dipastikan adalah apakah anak masih punya waktu bermain, setelah kegiatan belajar yang padat. Kalau memang sebenarnya anak punya waktu bermain, lalu berlanjut terus hingga tidak mau belajar, maka masalahnya adalah bagaimana kita memotivasi anak agar mau belajar.
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk membimbing anaknya dalam bermain sehingga benar-benar berguna bagi anak tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Pastikan dalam jadwal kesibukan anak sehari-hari, masih terdapat waktu luang yang cukup untuk anak bermain.
  2. Sesekali ikut bermain bersama anak, pahami dirinya, kegembiraan, ketakutan dan kebutuhannya. Siapa tahu setelah itu tidak lagi menjadi orangtua yang terlalu ambisius.
  3. Mendukung kreativitas permainanan anak, sejauh apa yang diperbuat anak dalam permainan bukanlah perbuatan yang kurang ajar, tidak merugikan, tidak menyakiti dan tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.
  4. Membimbing dan mengawasi anak dalam bermain, tapi tidak over-protective. Anak mungkin tidak tahu kalau apa yang dilakukannya dalam permainan adalah perbuatan yang salah, karena itu mereka perlu dibimbing. Tapi jangan bersikap over-protective sampai menghalangi kebebasannya. Misalnya, kalau anak bermain lari-larian dan pernah terjatuh adalah wajar, jadi tidak perlu melarang anak bermain lari-lari karena takut anak jatuh. Tapi kalau anak mengebut ketika bermain sepeda, tentunya perlu dilarang karena berbahaya.
Sekalipun dunia bermain adalah dunia anak-anak, tapi anak membutuhkan peran orangtua untuk dapat berada dalam dunianya itu secara aman dan nyaman. Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya; tapi dengan bimbingan yang tepat dari orangtua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orangtua bahagia.

IMPIAN YANG TERBADAI



Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.

Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!
HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi

Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya.”Hobimu itu nggak baik, Yazid,” nasehat temannya, Rajali.

Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.

Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.

Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.

“Hem, asyik sekali mbacanya,” tegur Yazid ramah.
Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.
“Dari Aceh ya, Mbak?” tanyanya.
Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya.
“Lho, kok tahu?” sang gadis tersenyum lebar.
Duh senyum itu…, bikin jantung Yazid kelabakan.
“Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda.”
“Ah, Mas bisa aja.”

Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!

Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.

Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!

“Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?” tanya Yazid terheran-heran.
“Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang,” Mirsa menjelaskan.
“O, pantas,” Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.
“Kau adik Rajali yang ke berapa?” tanya Yazid pula.
“Keempat. Yang terakhir.”
“Jadi kau anak bungsu?”

Kali ini Mirsa yang mengangguk.
Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.

Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. “Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali,” kata Yazid sungguh-sungguh. “Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh.”
“Ah, aku belum yakin,” sela Rajali — yang biasa dipanggil Ali itu. “Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik.” Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.

Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.
“Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku,” ucap Mirsa malam itu.
“Kenapa Mirsa?” kening Yazid berkerut.

“Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu.”
“Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?” desak Yazid.

Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. “Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa,” ucap Yazid serius. “Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!”
Mirsa tetap diam.

“Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu,” tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.
Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa.

Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.

“Bezuk siapa, Bang?” tanya Mirsa ramah.
“Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?” tanya Yazid.
Mirsa mengangguk. “Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?”
“Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank.” “Wah, hebat tuh, Bang,” puji Mirsa.
“Ah, biasa aja.”
“Oya Bang, main-main dong ke rumah,” cetus Mirsa tiba-tiba.
Yazid tersenyum. “Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali,” ucap Yazid.
“Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya.”
“Oya? Kapan?” kening Yazid berkerut.
“Setahun yang lalu…”
“Mm…,” Yazid mengangguk-angguk. “Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?”
“Oke. Saya tunggu.” senyum Mirsa.

Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.

Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.
“Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu,” cegah Haji Muslih. “Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat.”
Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid.

Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!

Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).

Kisah Ibu dan Anak

Suatu hari Syaikh DR.Muhammad Al-’Arifi mengisahkan salah seorang sahabatnya yang suatu ketika bepergian bersamanya naik mobil di Jeddah. Sahabat Syaikh ternyata mengajak dua orang anaknya yang kira-kira berumur 4 dan 5 tahun. Syaikh tahu bahwa sahabtanya ini bukanlah orang yang taat beragama, namun ktika mobil naik ke jalan layang, serempak anak-anaknya bertakbir.

Ia tahu, bahwa Rasulullah SAW dalam perjalanan bila menapaki jalan mendaki beliau bertakbir dan bila menuruni lembah beliau bertasbih. Rupanya anak-anak tersebut faham bila mobil sedang menanjak disunnahkan untuk takbir, bila turun disunnahkan bertasbih. Syaikh merasa heran, mengingat ayahnya bukanlah tipe laki-laki yang taat . Karena penasaran, maka Syaikh pun bertanya, ” Akhi, masya Allah..engkau bukanlah santri dan bukan pula aktivis, tapi anak-anakmu mampu menerapkan sunnah sedemikian rupa. Apa rahasianya?” tanyanya.

” Ya Akhi,,ini bukanlah hasil didikanku, tapi hasil didikan ibu mereka,” jawab temannya.
“Istriku memang…masya Allah! Semoga Allah membalas kebaikannya. Dia betul-betul ibu teladan. Dialah yang mengajari anak-anak berdoa sebelum tidur, doa bangun tidur, doa sebelum dan setelah makan, doa masuk WC, doa ini dan doa itu. bahkan dia memiliki cara unik dalam mendidik anaknya,” lanjut orang itu.
“Bagaimana caranya?” tanya Syaikh Muhammad.

Maka jawabnya,” Kalau sekali waktu anak-anak bertengkar lalu salah satu dari mereka berkata kasar kepada yang lain, maka istriku memanggilnya,

“Wahai anakku, ke sini sebentar.”
“Ada apa Ma? mama hendak memukulku ya?” tanya anakku
” enggak kok, nggak mama apa-apakan. mama cuma mau tanya, siapa yang lebih engkau sayangi, Allah ataukah setan?” kata istriku.

‘Tentu Allah lebih aku sayangi Ma,” jawab anakku polos.
“tapi kok kamu sekarang mau jadi temannya setan?” tanya ibunya.
“Lho, kenapa Ma?” tanya anakku.

“karena kamu berkata kasar tadi. Kalau berkata kasar, berarti kamu jadi temannya setan. Tuh bisa jadi setan sekarang lagi duduk di atas punggungmu. Ia tertawa lebar mendengar ucapanmu tadi,” kata ibunya.
“Trus Ma, bagaimana supaya setan menangis? Aku tak mau jadi temannya setan. Aku au jadi temannya Allah,” kata anakku.

“Oo..gampang, kamu sekarang menghadap kiblat, lalu ucapkan astaghfirullah seratus kali.. Hayo, coba lakukan!” kata ibunya.

” jadi, kalau aku melakukan itu, setan bakal nangis ya?’ kata ankku.
“Iya, kalau kamu lakukan itu, setan pasti nangis,” jawab ibunya.
“Kalau begitu, aku mau istighfar sekarang. astaghfirullah, astaghfirullah, astagfirullah….udah belum Ma?”
“Belum, masih lima puluh lagi,” kata ibunya.

“astaghfirullah, astaghfirullah, astagfirullah..udah belum?” tanya anakku.
“Belum, tiga belas kali lagi,” kata ibunya.

“astaghfirullah, astaghfirullah, astagfirullah..udah?” tanyanya lagi.
“Ya sudah,” kata ibunya.

“Sekarang setan lagi nangis ya Ma?” kata anakku.
“Iya, sekarang dia nangis,” kata ibunya.

” kalu begitu aku mau istighfar lagi supaya nangisnya lebih lama,” kata anakku sembari menambah istighfarnya.

-dikutip dari buku ” Ibunda para Ulama” karangan Sufyan bin Fuad Baswedan-
Subhanallah,,,kalau anak-anak dibesarkan dengan cara seperti itu, diajari bagaimana mendahulukan ridha Allah terhadap kepentingan dirinya, dan bagaimana memenangkan Allah dibanding bisikan setan, tentu kelak ia akan menjadi anak yang shalih, biidznillah insya Allah…

Sumber:  http://wulanmahmudah.wordpress.com/2011/05/04/kisah-ibu-dan-anak/

Gubuk Tua “Ada Kenanganku Terlupakan”



Teringat sebua desa,
dimana desa itu tersimpan sebuah kenangan yg penuh history
historis tentang aku dan saudara2ku.., Ayah dan Ibuku.
begitu pula dengan cara hidupku.

Kala itu, aku bukanlah seorang pengembara.
juga bukan seorang anak priyai,
juga bukan seorang anak jutawan,
tapi seorang anak buangan..

Kini kehidupan itu terus membayangi dalam kelabu,
kelabu dibuai mimpi…, mimpi tentang seorang anak desa.
Sedih…, pilu…, awal dan akhir masa remajaku..
Masa yang menjadikanku sebagai seorang manusia.

Sekarang aku mulai beranjak dewasa,
tanggung jawabku makin besar dan membosankan,
Aku mencoba memulai namun terkunkung sebauh kegalauan besar.
Yaitu…., tentang kisah yang melantarkan jiwa2 penjatidirianku.

Aku lemah dan tak berdaya,
Aku mengcoba beranjak dan mulai sedikit demi sedikit melangkah lagi,
Tapi semuanya sia-sia saja.., semangatku sudah redup,
tdk seperti masa kecilku, masa yg penuh semangat juang.

“Aku di Gubuk Tua Itu”

By : Edy Buyat

Kamis, 01 November 2012

Aku Terluka




Sebenarnya aku tak ingin mengingat
semua tentang kenangan…
Namun luka ini robek dan terobek lagi…

Aku hanya bisa tertunduk
dan membungkuk menahan perih…
Hingga sehelai keraguan meniti hari…
Sanggupkah aku berjalan dalam renungan jiwa ini…


Aku hanya bisa diam..
Meski anyir diantara jejakku….
Ahh…celotehku hampir kelu…

Sementara malam terus saja membuka inspirasi lelah…

Ingin kusisir kembali tempat keruh dimuara hatiku…
Senyap dan sunyi….Sungguh sepi…..

Diamku keterusan…
Kian menghujat kepongahan…

Jiwaku makin risau..

sementara,
Waktuku hampir mati….


Hari menari diatas penantian…
minggu bergulir mencandaiku…
Bulan terus mengukir setiap imajinasiku…
Tahun tak sempatkan aku lama menunggu…

Kenangan adalah luka…
Detik waktu terus saja berbeda…
Namun aku masih saja sama merasa….
Hening…,
sunyi…,
dan sepi merenggut usia kian renta….
Aku terluka luka….

Kelekatan


Setiap mulainya tahun ajaran baru, banyak orangtua sibuk mendorong sang batita dan balita agar segera masuk sekolah. Ternyata masalah tidak berakhir setelah niat – nya kesampaian, karena sang batita dan balita kok malah rewel dan nangis terus….pengasuhnya harus kelihatan olehnya..kalau tidak, bisa panik…. Ada pula yang ngadat nggak mau sekolah …Ada pula yang susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mojok terus dan membisu, kalau didekati guru malah ketakutan…..Sementara itu, ada pula orangtua yang pusing karena mendapat laporan guru kalau anaknya suka memukuli teman di kelas…..

Problem tersebut banyak dialami oleh anak-anak terutama pada saat mereka menghadapi situasi, lingkungan atau orang baru. Berbagai sikap dan perilaku aneh kemudian muncul sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan yang dirasakannya. Namun demikian, tidak setiap anak mengalaminya karena ada pula yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan bisa menjalin komunikasi yang interaktif dengan teman-teman serta gurunya. Sebenarnya, keberadaan problem tersebut bisa menjadi pertanda adanya masalah psikologis yang harus dicermati oleh orangtua agar bisa diketahui faktor penyebab dan strategi yang bisa dilakukan untuk menanganinya agar problem ini tidak sampai berlarut-larut dan mengganggu perkembangan psikologis dan kemampuan sosial sang anak.

Berawal dari Pola Hubungan Orangtua-Anak
Dari kaca mata psikologi, banyak masalah yang dialami anak-anak antara lain bersumber dari pola hubungan yang buruk antara orangtua dengan anak atau penyebab lain yang akan dibahas kemudian. Dalam artikel ini akan dibahas seputar pentingnya kelekatan hubungan yang positif antara anak dengan orangtua dan pengaruhnya bagi perkembangan psikologis sang anak.

Apakah yang disebut kelekatan ? Banyak orang takut jika kelekatan antara bayi dengan ibunya bisa membuat anak jadi “bau tangan”, manja, dan cengeng sehingga muncul nasehat-nasehat seperti : kalau anak menangis, biarkan saja…tidak usah ditanggapi…nanti juga diam sendiri…dia cuma minta perhatian…Latihlah disiplin…mereka sekali-sekali harus dikerasi supaya tidak manja….Jangan sering-sering memeluk anak, nanti dia bisa menjajah orangtuanya….Jangan sering-sering mencium anak, nanti dia jadi manja…Bayi jangan sering-sering dipeluk atau digendong…..taruh saja di tempat tidur biar tidak bau tangan…..

Begitulah nasehat-nasehat yang sering diperdengarkan pada calon ibu atau ibu-ibu muda kita. Nasehat tersebut kerapa kali membuat mereka jadi bingung karena pada prakteknya sering mengalami konflik batin, antara keinginan untuk memberi perhatian penuh dengan kekhawatiran kelak anak jadi manja atau tidak tahu diri.

Para ahli psikologi perkembangan dewasa ini makin menilai secara kritis pentingnya kelekatan (positif) antara anak dengan orangtua. Kelekatan adalah sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua). Kelekatan yang baik dan sehat dialami seorang bayi yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orangtua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua.

Apakah manfaat dari hubungan kelekatan antara anak-orangtua ?
Rasa percaya diri
Perhatian dan kasih sayang orangtua yang stabil, menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Jaminan adanya perhatian orangtua yang stabil, membuat anak belajar percaya pada orang lain.

Kemampuan membina hubungan yang hangat
Hubungan yang diperoleh anak dari orangtua, menjadi pelajaran baginya untuk kelak diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan yang hangat, menjadi tolok ukur dalam membentuk hubungan dengan teman hidup dan sesamanya. Namun hubungan yang buruk, menjadi pengalaman traumatis baginya sehingga menghalangi kemampuan membina hubungan yang stabil dan harmonis dengan orang lain.

Mengasihi sesama dan peduli pada orang lain
Anak yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki sensitivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya. Dia mempunyai kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu kesusahan orang lain

Disiplin
Kelekatan hubungan dengan anak, membuat orangtua dapat memahami anak sehingga lebih mudah memberikan arahan secara lebih proporsional, empatik, penuh kesabaran dan pengertian yang dalam. Anak juga akan belajar mengembangkan kesadaran diri, dari sikap orangtua yang menghargai anak. Sikap menghukum hanya akan menyakiti harga diri anak dan tidak mendorong kesadaran diri. Anak patuh karena takut.

Pertumbuhan intelektual dan psikologis
Bentuk kelekatan yang terjalin, kelak mempengaruhi pertumbuhan fisik, intelektual dan kognitif serta perkembangan psikologis anak.

Faktor Penyebab Gangguan Kelekatan Pada Anak
Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan kelekatan kasih sayang yang tulus, hangat dan konsisten dari kedua orangtuanya. Dan menurut ahi psikologi perkembangan, hingga usia 2 tahun adalah masa paling kritis. Erik Erikson, seorang bapak perkembangan berpendapat, masalah yang terjadi dalam masa-masa tersebut berpotensi mengganggu proses perkembangan psikologis yang sehat.

Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan orangtua/pengasuh
Perpisahan traumatik bagi seorang anak bisa berupa : kematian orangtua, orangtua dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup tanpa orangtua karena sebab-sebab lain

Penyiksaan emosional (dan pengabaian), penyiksaan fisik atau pun penyiksaan seksual
Setiap anak rentan terhadap penyiksaan emosional maupun fisik dari orangtua/pengasuh sebagai bagian dari pola asuh dan interaksi sehari-hari (lihat artikel: Penyiksaaan & Pengabaian Terhadap Anak). Sistem pendidikan tradisional yang seringkali menggunakan cara hukuman (baik fisik maupun emosional) untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. orangtua sering bersikap menjaga jarak dan bahkan ada yang membangun image “menakutkan” agar anak hormat dan patuh pada mereka. Padahal cara ini malah membuat tumbuh menjadi pribadi yang penakut, mudah berkecil hati dan tidak percaya diri. Anak akan merasa bukan siapa-siapa atau tidak bisa berbuat apa-apa tanpa orangtua.
Sementara itu, penyiksaan seksual tidak mustahil terjadi pada anak, yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya, entah itu orangtua maupun anggota keluarga atau pihak lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena orang tersebut mengalami problem psikologis yang menyebabkan dirinya mengalami hambatan pengendalian dorongan seksual.

Pengasuhan yang tidak stabil
Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak menetap oleh satu/dua orangtua, menyebabkan ketidakstabilan yang dirasakan anak, baik dalam hal “ukuran” cinta kasih, perhatian, kelekatan dan kepekaan respon terhadap kebutuhan anak. Anak jadi sulit membangun kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya diri (merasa kurang ada dukungan emosional).

Sering berpindah tempat/domisili
Seringnya berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak menjadi lebih sulit, terutama bagi seorang batita atau balita. Situasi ini akan menjadi lebih berat baginya jika orangtua tidak memberikan rasa aman dengan mendampingi mereka dan mau mengerti atas sikap/perilaku anak-anak yang mungkin saja jadi “aneh” akibat dari rasa tidak nyaman saat harus menghadapi orang baru. Tanpa kelekatan yang stabil, reaksi negatif anak (yang sebenarnya normal) akhirnya menjadi bagian dari pola tingkah laku yang sulit diatasi

Ketidakkonsistenan cara pengasuhan
Banyak orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Misalnya, pada suatu saat orangtua menghukum anak dengan sangat keras, tapi di lain waktu (mungkin karena merasa bersalah) memenuhi semua keinginan anak (misal membelikan mainan mahal). Ketiadaan kepastian sikap orangtua, membuat anak sulit membangun kelekatan tidak hanya secara emosional tetapi juga secara fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi, membuat anak bingung, tidak yakin dan sulit mempercayai (dan patuh) pada orangtua.

Problem psikologis yang dialami orangtua
orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah tentu membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi anak. Hambatan psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi atau problem stress yang sedang dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa berkomunikasi dan ngobrolenak dengan orangtua, tapi membuat orangtua kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak. Bahkan, orangtua sering terlalu sensitif dan emosional, menjadi lebih pemarah dan kurang sabar menanggapi perilaku anak-anak. Tidak jarang anak dimarahi atau dipukul, disiksa, atau diberi perlakuan yang sangat tidak proporsional dibandingkan dengan “kenakalan” yang dilakukan. Tindakan tersebut beresiko menghancurkan harga diri seorang anak.

Problem neurologis/syaraf
Ada kalanya, gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan adanya perhatian yang diarahkan padanya. Contohnya, ada kasus seorang bayi yang rewel terus dan restless karena dalam tubuhnya terdapat unsur cocaine, atau zat addictive yang sudah mempengaruhi pertumbuhan struktur syaraf otak sejak masa konsepsi (pembentukan jaringan). Problem ini bisa disebabkan masalah alkoholisme atau obat-obatan yang biasa dikonsumsi orangtua sebelum dan selama masa kehamilan; atau karena efek samping obat-obatan yang harus diminum anak akibat penyakit yang sedang dideritanya.

Dampak Problem Kelekatan
Anak-anak yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi akibat problem kelekatan yang dialami, berpotensi mengalami masalah intelektual, masalah emosional dan masalah moral dan sosial di kemudian hari.
Masalah Intelektual

1. Mempengaruhi kemampuan pikir seperti halnya memahami proses “sebab-akibat”
Ketidakstabilan atau ketidakkonsistenan sikap orangtua, mempersulit anak melihat hubungan sebab-akibat dari perilakunya dengan sikap orangtua yang diterimanya. Dampaknya akan meluas pada kemampuannya dalam memahami kejadian atau peristiwa-peristiwa lain yang dialami sehari-hari. Akibatnya, anak jadi sulit belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya.

2. Kesulitan belajar
Kurangnya kelekatan dengan orangtua, membuat anak lamban dalam memahami baik itu instruksi maupun pola-pola yang seharusnya bisa dipelajari dari perlakuan orangtua terhadapnya atau kebiasaan yang dilihat/dirasakannya.

3. Sulit mengendalikan dorongan
Kebutuhan emosional yang tidak perpenuhi, membuat anak sulit menemukan kepuasan atas situasi / perlakuan yang diterimanya, meski bersifat positif. Ia akan terdorong untuk selalu mencari dan mendapatkan perhatian orang lain. Untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga, dengan caranya sendiri untuk mendapatkan jaminan bahwa dirinya bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Masalah Emosional

1. Gangguan bicara
Menurut sebuah hasil penelitian, problem kelekatan yang dialami anak sejak usia dini, dapat mempengaruhi kemampuan bicaranya. Dalam dunia psikologi, hingga usia 2 tahun dikatakan sebagai masa oral, dimana seorang anak mendapat kepuasan melalui mulut (menghisap – mengunyah makanan dan minuman). Oleh sebab itu lah proses menyusui menurut para ahli merupakan proses yang amat penting untuk membangun rasa aman yang didapat dari pelukan dan kehangatan tubuh sang ibu. Ada kemungkinan anak yang mengalami hambatan pada masa ini akan mengalami kesulitan atau keterlambatan bicara.

Memang, secara psikologis anak yang merasakan ketidaknyamanan akan kurang percaya diri dalam mengungkapkan keinginannya. Atau, kurangnya kelekatan tersebut membuat anak berpikir bahwa orangtua tidak mau memperhatikannya sehingga ia lebih banyak menahan diri. Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa mengungkapkan diri, berbicara atau mengekspresikan diri lewat kata-katanya. Ada pula penelitian yang mengatakan, bahwa melalui komunikasi yang hangat seorang ibu terhadap bayinya, lebih memacu perkembangan kemampuan bicara anak karena si anak terpacu untuk merespon kata-kata ibunya.

2. Gangguan pola makan
Ada banyak orangtua yang kurang responsif / kurang tanggap terhadap tangisan bayinya. Mereka takut jika terlalu menuruti tangisan bayinya, kelak ia akan jadi anak manja dan menjajah orangtua. Padahal, tangisan seorang bayi adalah suatu cara untuk mengkomunikasikan adanya kebutuhan seperti halnya rasa lapar atau haus. Ketidakkonsistenan orangtua dalam menanggapi kebutuhan fisiologis anak, akan ikut mengacaukan proses metabolisme dan pola makan anak.

3. Perkembangan konsep diri yang negatif
Ketiadaan perhatian orangtua, sering mendorong anak membangun image bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan siapa pun. Image itu berusaha keras ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Padahal, dalam dirinya tersimpan ketakutan, rasa kecewa, marah, sakit hati terhadap orangtua, sementara ia juga menyimpan persepsi yang buruk terhadap diri sendiri. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa disingkirkan, merasa tidak berharga sehingga orangtua tidak mau mendekat padanya (dan, memang ia juga merasa tidak ingin didekati)

Tanpa sadar semua perasaan itu diekspresikan melalui tingkah laku yang aneh-aneh, yang orang menyebutnya “nakal”, “liar”, “menyimpang”. Mereka juga terlihat suka menuntut secara berlebihan, suka mencari perhatian dengan cara-cara yang negatif, sangat tergantung, tidak bisa memperhatikan orang lain (tapi menuntut perhatian untuk dirinya), sulit mencintai dan menerima cinta dari orang lain.

Masalah Emosional
Anak akan sulit melihat mana yang baik dan tidak, yang boleh dan tidak boleh, yang penting dan kurang penting, dari keberadaan orangtua yang juga tidak bisa menjamin ada tiadanya, yang tidak dapat memberikan patokan moral dan norma karena mereka mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri, kesulitan dalam mengendalikan dorongan mereka sendiri. Akibatnya, anak hanya meniru apa yang dilihatnya dari orangtua dan mencari cara agar tidak sampai terkena hukuman berat.

Tidak jarang anak-anak tersebut memunculkan sikap dan tindakan seperti : suka berbohong (yang sudah tidak wajar), mencuri (karena ingin mendapatkan keinginannya), suka merusak dan menyakiti (baik diri sendiri maupun orang lain), kejam, dan menurut sebuah penelitian, mereka cenderung tertarik pada darah, api dan benda tajam.

Bagaimana Membangun Kelekatan yang Baik Dengan Anak ?

Kesiapan mental untuk menjadi orangtua Memiliki anak membawa implikasi yang luas, tidak hanya merubah peran dari suami / istri, menjadi seorang ayah / ibu. Ada komitmen dan tanggung jawab yang harus disadari dan dijalankan. Oleh sebab itu, perlu “hati dan pikiran” yang tenang untuk menjalani proses menjadi orangtua. Hati dan pikiran yang tenang, akan menciptakan rasa nyaman pada janin yang sedang dikandung; dan, jangan lupa bahwa ketenangan dan kesiapan hati tersebut mendorong keseimbangan hormon yang mendukung proses kehamilan yang sehat. Selain itu, kesiapan mental juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan terutama untuk menghindari konflik dan ketegangan yang bisa muncul di antara suami-istri akibat perubahan yang terjadi. Kesiapan tersebut membuat masing-masing sadar dan berusaha menahan diri untuk tidak saling menyakiti, karena dilandasi kesadaran, bahwa kedua nya saling membutuhkan untuk saling menguatkan.
Ciptakan komunikasi yang hangat sejak dini
Berkomunikasi dengan anak tidak dimulai sejak anak lahir, melainkan sejak ia dalam kandungan. Sejak itu proses kelekatan pun dimulai. Berbicaralah padanya meski ia masih belum tampak secara lahiriah. Sapa lah dia, bernyanyilah untuknya dan pelihara/pertahankan kestabilan emosi. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa seorang anak bisa memahami apa yang terjadi dalam diri sang ibu meski ia belum lahir. Hal itu bisa dibuktikan dari munculnya kecenderungan tertentu yang ada pada anak, misalnya pencemas, super sensitif atau pemarah – dihubungkan dengan persoalan yang sedang dihadapi sang ibu pada masa dan pasca kehamilannya.

Upayakan program menyusui
Proses menyusui, bukan hanya sekedar memberikan ASI yang berkualitas. Namun menyusui merupakan proses yang melibatkan dua belah pihak, bahkan tiga belah pihak : suami – istri dan anak. Kegiatan menyusui merupakan moment yang sangat ideal untuk membangun kontak batin yang erat, melalui kelekatan fisik dan kontak mata yang intensif. Proses ini membutuhkan “hati” yang tenang dan penuh kasih, karena produksi ASI akan terpengaruh oleh faktor fisik dan emosional. Oleh sebab itu, perlu kerja sama yang baik dan sikap saling memahami serta saling menghargai antara suami-istri agar segala persoalan yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa menyebabkan ketegangan dan tekanan emosional yang mengganggu hubungan dengan anak.

Tanggapilah tangisan bayi / anak secara positif
Banyak orangtua yang menganggap bahwa tidak baik selalu menanggapi tangisan bayi, karena bayi perlu dilatih untuk tidak menjadi manja dan supaya jantungnya kuat. Memang, pada beberapa kasus pemikiran tersebut bisa diikuti, tapi tidak selamanya. Karena, hanya melalui menangis–lah seorang bayi dapat mengkomunikasikan ketakutannya, kelaparannya, kehausannya, keinginannya akan kehangatan, keinginannya untuk dibelai, rasa tidak enak badan, kedinginan, kepanasan dan rasa tidak enak yang lain. Jangan lupa, bayi adalah makhluk paling tidak berdaya dan tidak berdosa, tidak punya maksud buruk. Jadi, tangisannya adalah murni muncul dari kebutuhannya. Bayangkan, jika orangtua menunda respon terhadap ketakutannya, maka bayi akan merasa frustrasi. Dari situ lah ia juga belajar, bahwa orangtuanya tidak bisa memberikan jaminan akan kasih sayang, bahwa dirinya tidak terlalu berharga untuk diperhatikan kebutuhannya.

Upayakan kebersamaan dalam keluarga inti
Jaman sekarang, banyak keluarga yang menggunakan jasa baby sitter untuk mengasuh anak. Ironisnya, ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak bekerja, tidak mempunyai kegiatan apapun kecuali arisan, ke salon dan shopping, mempunyai banyak asisten dan pembantu – namun anaknya sepenuhnya diurus oleh baby sitter. Tidaklah mengherankan jika kelak antara dia dengan anaknya tidak terlihat suatu kelekatan yang positif karena anaknya lebih nempel dengan ‘suster-nya. Situasi ini tidak mendorong proses perkembangan psikologis dan identitas yang sehat. Anak tetap melihat dirinya diabaikan oleh ibunya sementara sang ibu memperhatikan anak melalui berbagai barang dan mainan yang dibeli atau pun uang jajan yang berlebihan.
Kelekatan yang positif, membutuhkan kerja sama setiap angota keluarga. Ciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, dipenuhi perasaan tenang, senang dan santai. Jika bepergian bersama, (dan jika memungkinkan), berlatihlah sejak dini untuk tidak menyertakan sang suster – agar anak terbiasa berada bersama dan dekat orangtua, agar anak lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtua, agar anak bisa merasakan senangnya jalan-jalan dengan ‘mama-papa. Sementara itu, orangtua juga belajar dari anaknya, dan melihat hasil didikannya selama ini melalui sikap dan perilaku anak. Dengan demikian, orangtua bisa memahami perilakunya sendiri, mana yang perlu diubah dan mana yang perlu ditingkatkan

TANYA:
Saya ingin bertanya, bagaimana mengenali gejala apakah seorang anak dikategorikan sebagai anak yang hiperaktif atau tidak? Apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya. Terima kasih atas jawabannya.
Yohana Mei

JAWAB:
Ibu Yohana, tanda-tanda hiperaktivitas biasanya tidak berdiri sendiri. Pada umumnya hiperaktivitas menjadi bagian dari ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang dicirikan dengan adanya :
  1. kesulitan memusatkan perhatian (perhatian mudah terganggu oleh suara-suara atau tanda-tanda, sulit memusatkan perhatian pada hal-hal detail seperti menyelesaikan suatu pekerjaan dan mempelajari hal-hal baru, sulit mengikuti instruksi secara utuh dan cermat, sering kehilangan benda-bendanya seperti mainan, pensil, buku karena lupa setelah meletakkannya, sering membuat kesalahan akibat kecerobohan)
  2. hiperaktivitas (selalu bergerak, tidak bisa duduk diam dan mendengarkan/mengikuti pelajaran sampai selesai, selalu menggerakkan kaki/tangan, menyentuh benda-benda yang ada di sekelilingnya, mengetukan pensil terus menerus ke meja, memanjat, restless, dan mudah sekali berganti aktivitas dalam sekejap)
  3. impulsivitas (sulit untuk mengendalikan reaksi sehingga mereka bertindak/bereaksi sebelum sempat memikirkannya; sulit menahan diri dan keinginan, menjawab sebelum yang bertanya menyelesaikan kalimatnya.
Namun, kita harus lebih jauh mempertanyakan keadaan tersebut :
  1. seberapa parah perilakunya dan sudah berlangsung berapa lama ? bagaimana perilakunya dibandingkan dengan anak seusianya ?
  2. apakah perilaku tersebut hanya muncul saat tertentu saja atau hanya di tempat-tempat tertentu saja?
Jika ternyata hiperaktivitas, impulsivitas dan inattentiveness tampak berat dan sudah berlangsung lama/sejak kecil, dan tanda-tanda tersebut terlihat setiap hari atau bahkan setiap saat, maka kemungkinan anak tersebut mengalami hiperaktivitas atau bahkan ADHD.

Kita harus berhati-hati sekali dalam mendiagnosa apakah anak tersebut mengalami ADHD – hiperaktivitas atau tidak karena dalam usia tertentu, setiap anak memang menunjukkan ciri-ciri hiperaktivitas, hambatan konsentrasi dan impulsivitas – namun tidak bisa dikatakan mengalami gangguan / ADHD. Apalagi jika si anak sedang mengalami masalah yang tidak bisa diungkapkannya atau dirumuskannya sendiri sehingga ia mengalami frustasi yang termanifestasi dalam sikap/perilaku seperti hiperaktivitas. Perlu diagnosa dari ahlinya secara langsung seperti dibawa ke psikolog, atau psikiater.

Sebab dari hiperaktivitas sejauh ini belum diketahui secara jelas, meski pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ADHD berkorelasi dengan adanya defisiensi pada neurotransmitter tertentu di otak bagian bawah. Namun penelitian ini juga masih terus berlanjut sampai sekarang. Yang jelas, para ahli menyatakan bahwa ADHD tidak disebabkan oleh faktor lingkungan (baik itu lingkungan sosial maupun keluarga) namun lebih disebabkan faktor biologis.

Penanganan :
Sejauh ini para ahli melakukan penanganan terhadap anak-anak ADHD atau pun kombinasinya dengan cara :
1.       Medis / obat-obatan. Ada beberapa jenis obat-obatan yang memang dipergunakan untuk penderita ADHD untuk mengurangi simtom/gejala dan membantu anak tersebut untuk lebih bisa mengendalikan diri, memusatkan perhatian dan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Jika si anak mengalami keberhasilan dalam pekerjaan yang sederhana sekali pun (setelah mengkonsumsi obat tersebut), dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya dirinya. Sayangnya, obat-obatan ini tetap harus dipergunakan seterusnya meskipun ada beberapa dokter yang memperbolehkan untuk sementara libur mengkonsumsi obat tersebut (misal sedang liburan sekolah, jadi anak tersebut juga libur). Pasalnya, setiap obat pasti ada efeknya, seperti misalnya gangguan hati. Oleh sebab itu, dokter juga merekomendasikan agar anak-anak tersebut selalu cek up secara rutin dalam periode tertentu untuk mengontrol dan mencegah sejak dini hal-hal negatif sebagai efek samping pengobatan yang diberikan.

2.       Psikoterapi. Psikoterapi diperlukan baik oleh individu/anak yang bersangkutan, maupun orang tua (dan kakak/adik nya). Psikoterapi yang ditujukan pada anak ADHD dimaksudkan agar mereka semakin mempunyai kemampuan dalam mengekspresikan emosi secara tepat, bisa mengendalikan diri/emosi dan bisa mengendalikan perilaku. Cognitive-behavioral therapy merupakan salah satu metode untuk mengembangkan kemampuan dalam menghadapi, menyelesaikan dan memfokuskan diri pada tugas yang sedang dihadapi. Sedangkan social skill-training, diperlukan untuk mengajarkan perilaku sosial seperti berbagi permainan, minta tolong, cara mereaksi yang tepat terhadap sikap orang lain, mengenali ekspresi orang lain, mengendalikan ekspresi diri sendiri.

3.       Support group dan parenting skill-training. Orang tua dan anggota keluarga yang lain sebaiknya mengikuti program ini supaya bisa lebih memahami tidak hanya sikap dan perilaku anak, tetapi juga tahu apa yang dibutuhkan oleh mereka baik secara psikologis, kognitif (intelektual) maupun fisiologis. Jika si anak merasa bahwa orang tua dan anggota keluarga lain bisa mengerti keinginannya, perasaannya, frustasinya, maka kondisi ini akan meningkatkan kemungkinan anak tersebut dapat tumbuh selayaknya orang-orang normal lainnya.

Di bawah ini akan saya kemukakan beberapa model penanganan yang menurut beberapa ahli tidak diperlukan oleh anak-anak ADHD:
  • Biofeedback
  • Diet tertentu
  • Perlakuan khusus untuk alergi
  • Obat-obatan untuk menangani masalah pendengaran
  • Megavitamin
  • Penanganan chiropractic dan bone re-alignment
  • Penanganan untuk infeksi jamur
  • Latihan mata
  • Kaca mata warna khusus
Anak-anak yang mengalami hiperaktivitas, dengan penanganan yang intensif, dan didukung penuh oleh pihak keluarga secara konsisten….tidak mustahil bisa tumbuh selayaknya orang normal yang bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa dan berdikari.

Jika Anda masih mempunyai pertanyaan lebih lanjut, silahkan menanyakan langsung pada kami. Kami harap informasi ini dapat bermanfaat bagi Anda, Bu Yohana…

Self-Esteem Anak-anak dan Persepsi Mereka Terhadap Pola Komunikasi Orangtua-Anak Level dan kestabilan Self-Esteem (SE) pada anak berusia 11 – 12 tahun ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil persepsi mereka terhadap berbagai aspek yang terkait dalam hubungan komunikasi orangtua – anak. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Anita Brown, dkk dari University of Georgia. Dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-esteem yang stabil, anak-anak dengan SE yang tidak stabil melaporkan bahwa orangtua mereka ternyata suka mengkritik, mengontrol secara berlebihan, dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan oleh anaknya. Sementara itu, anak-anak dengan Self-Esteem rendah melaporkan bahwa orangtua mereka lebih banyak mengkritik, mengawasi dengan ketat dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan anaknya dalam rentang waktu yang cukup lama dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-Esteem tinggi. Sementara itu, ayah (orangtua) dari anak-anak yang memiliki Self Esteem tinggi dianggap memiliki kemampuan khusus dalam memecahkan masalah atau persoalan hidup.

AIR MATA SURTI


 Tidak seorang pun yang ingin jadi penduduk kelas bawah, termasuk Agus dan Surti. Alur kehidupan yang dijalani keduanya memuarakan mereka sebagai pasangan suami istri dengan seorang anak, berprofesi sebagai buruh pabrik sepatu, tinggal di kamar ukuran tiga kali tiga meter, penghasilan hanya cukup untuk makan.

Surti telah dua kali melahirkan. Kesehatan anak keduanya bermasalah. Sejak lahir, setiap habis menangis tubuh mungilnya membiru. Surti membawa bayinya ke Puskesmas. Dokter mengatakan kemungkinan besar si bungsu sakit jantung. Ia dirujuk ke rumah sakit Cipto.

“Oalah Nak, hidup kita susah begini, kok ngambil penyakit orang kaya,” Surti bergumam sambil mencium pipi biru anaknya. Air matanya menetes saat menerima surat rujukan dari dokter Puskesmas.

Sebagai ibu, Surti ikhlas berhenti bekerja dan membawa anaknya berobat ke Cipto. Tapi, mereka terbentur biaya. Meskipun kartu miskin bisa diurus tetap saja ada yang harus dibayar. Dari rumahnya ke Cipto tiga kali naik angkutan umum. Pulang pergi enam kali ongkos. Dari mana uangnya? Upah Agus hanya cukup untuk bayar sewa kamar dan beli beras. Selama ini, upah Surti untuk beli lauk-pauk dan biaya lainnya. Tidak ada jalan keluar. Si Bungsu gagal berobat ke rumah sakit besar.

Tidak sanggup hidup berat di dunia, bayi merah Surti balik kepada Sang Khalik. Pasangan itu tergoncang. Mereka merasa bersalah. Terutama Surti. Hatinya perih dan pedih. Ia terluka.

Hidup Surti dan Agus terus mengalir. Seiring dengan berjalannya waktu, luka jiwa Surti berangsur sembuh. Meski, sakitnya masih terasa. Dalam keadaan batin belum stabil tersebut, badai kembali menghantam mereka. Krismon melanda negeri pertiwi, sehingga mempengaruhi kehidupan berbagai kalangan. Agus dan Surti turut jadi korban. Pabrik tempat Surti dan Agus bekerja bankrut.

Setiap hari, Agus, Surti, dan teman-temannya tetap datang ke pabrik. Mereka bergerombol dan mengobrol. Tidak ada pekerjaan lagi. Ketika sebuah koran memberitakan bahwa pemilik pabrik tempat mereka bekerja kabur ke luar negeri, semua karyawan dan buruh tersentak. Mereka merasa kecolongan. Secara spontan mereka berdemo di depan pabrik.

Namun, beberapa hari berdemo, tidak seorang pun petinggi pabrik yang menghampiri para karyawan. Mereka raib tak berbekas. Hanya wartawan yang memotret dan mewawancarai pendemo. Karena itu, Agus dan teman-temannya memutuskan berdemo di halaman kantor Depnaker. Mereka menuntut pemerintah memaksa pemilik pabrik bertanggung jawab terhadap nasib karyawannya.

Surti putus asa. Hari-harinya dan Agus habis untuk berdemo. TV 14 inci, satu-satunya hiburan Si Sulung, telah terjual. Surti sangat ketakutan membayangkan ia dan Agus tidak punya uang sama sekali. Ia tak mampu membeli nasi saat si Sulung lapar. Si Sulung akan lapar berhari-hari dan meninggal, seperti Si Bungsu. Tubuh Surti menggigil. Sebagai ibu, ia merasa tidak berguna lagi.

Diambilnya pisau. Lama diperhatikannya sisi mata pisau yang tajam. Surti melihat Si Bungsu di sana. Ia sehat dan montok. Di punggungnya tiba-tiba tumbuh sayap. Sambil terbang kian ke mari, Si Bungsu memanggil-manggil Surti. Ia mengajak Surti bermain-main di taman bunga yang indah. Surti ingin bergabung dengan Si Bungsu. Gagang pisau dipegangnya erat. Ia siap melayang.

“Mama mau potong apa?” tanya Si Sulung polos. Surti terperanjat. Si Sulung menyadarkannya kembali ke alam nyata. Buru-buru Surti meletakkan pisau. Dipeluknya Si Sulung dengan penuh haru. Si Sulung telah menyelamatkan jiwanya. Hampir saja ia menjadi pengikut setan, setan jahat yang mewujud Si Bungsu untuk menggodanya.

“Maafkan Mama, Nak. Mama tak akan meninggalkanmu. Mama akan cari uang. Kamu tidak boleh busung lapar,” Surti berjanji. “Tuhan, ampuni hamba,” mohonnya tulus. “Stop berdemo. Uang kita hanya cukup untuk bertahan seminggu, Bang,” kata Surti pada Agus.

“Tidak! Abang dan teman-teman ingin kerja lagi atau dapat pesangon. Masa kerja kita telah belasan tahun, jadi pantas dapat pesangon,” Agus bersikukuh. “Untuk makan sehari-hari, Sur, ngutanglah dulu di warung. Kalau pesangon telah keluar, semua kita bayar,” Agus tetap kukuh pada pendiriannya.

Semalaman Surti tidak bisa tidur. Ia ingin berjualan. Tapi, tidak punya modal. Surti memeras otaknya, agar dapat ide, bagaimana caranya, bisa menghasilkan uang. Tiba-tiba, Surti ingat Ipan, pengasong koran di pabrik. Sejumput harapan singgah di kepala Surti. Surti pernah mengobrol panjang lebar dengan Ipan. Dari Ipan, Surti tahu untuk berdagang koran tidak perlu modal. Yang penting mendapat kepercayaan dari agen. Kalau sudah dipercaya, ambil koran pagi, langsung dijual. Besok paginya, ke agen lagi mengambil koran yang terbit hari itu dan membayar koran yang dibawa kemarin.

“Aku akan dagang koran,” Surti memutuskan. Bibirnya tersenyum. Puas. Tapi sayang, sejak pabrik tutup Surti tidak pernah lagi bertemu Ipan. Maka ia mencari sendiri alamat agen koran. Dengan bertanya ke sana ke mari akhirnya ia berhasil menemukan rumah sang agen. Syukurlah, si agen bersedia mengutangi Surti. Ia menyarankan Surti berjualan di tempat yang ramai. Saat itu juga terbayang di pikiran Surti perempatan jalan dekat pabriknya. Siang malam perempatan itu selalu ramai.

Sore itu Surti pulang dengan tubuh dekil dan keringat di jidat. Ternyata, berdagang koran juga berat. Dini hari, ketika orang lain masih berselimut, ia harus berangkat ke bursa koran, menembus dinginnya cuaca. Begitu mendapat koran, langsung dibawanya ke tempat mangkal. Seharian menunggu pembeli, panas terik membakar kulit, setiap detik menghirup debu jalanan. Namun, Surti puas. Hari pertama ia jualan, korannya laris manis. Lima korannya bersisa, tapi bisa dikembalikan ke agen. Surti tidak menanggung rugi.

Malamnya, Surti mengibaskan dua lembar uang sepuluh ribuan pada Agus. “Bang Gus, ini untung Sur hari ini. Banyak ya, Bang,” wajahnya sumbringah. “Kalau kita gerobak koran yang ada rak-raknya, kita bisa dagang majalah juga. Pasti labanya lebih gede lagi. Sekarang Sur hanya bisa mengasong koran dan tabloid,” Surti menerangkan. “Tapi, kalau dagang majalah, harus kita beli kontan. Agen tidak kuat memodalinya.”
Agus tidak bereaksi. Ia terlihat bengong. Jauh di lubuk hatinya, ia malu pada Surti. Untuk mengimbangi usaha Surti mencari uang, Agus berjanji dalam hatinya akan menggantikan tugas harian Surti, memasak dan merapikan rumah, serta menjaga Si Sulung. Jika ia berdemo, Si Sulung akan dibawanya.

Hampir setengah tahun Agus dan teman-temannya menghabiskan waktu menuntut haknya. Atas izin Tuhan, keluar juga pesangon yang didambakan Agus. Tapi jumlahnya sedikit. Itu pun ditalangi pemerintah. Uangnya hanya cukup untuk membuat gerobak koran dan modal membeli majalah. Agus kecewa. Ia berharap, uang pesangonnya jauh lebih besar. Sebab yang di-PHK hanya dua orang, yaitu dirinya dan Surti. Surti menghiburnya. Dibujuknya Agus agar pasrah pada Tuhan. Ia juga mengajak Agus berjualan koran.
Siang itu Surti bersama Agus, dan Si Sulung, menunggui gerobak koran. Mereka baru saja memakan nasi bungkus yang dibeli di Warteg. Sejak berjualan majalah dan punya gerobak, pembeli tambah banyak. Dagangan mereka terlihat semarak.

Tapi tiba-tiba, ketika mereka melayani pembeli, tiga mobil loosback berhenti di depan dagangan Surti. Puluhan petugas trantib melompat turun. Petugas menyuruh Surti dan Agus keluar gerobak. Selanjutnya, mereka beramai-ramai mengangkat gerobak Surti ke atas mobil. Koran, tabloid, dan majalah, ikut mereka bawa. Sebagian bahkan berserakan, terinjak kaki petugas.

Agus dan Surti terkesima. Ketika Surti melihat dagangannya terinjak-terinjak, hatinya mendidih. Bagaikan singa betina terluka Surti mengamuk. Diberikannya si sulung kepada Agus. Dengan membabi buta Surti menarik, menjambak, dan memukul seorang petugas. Ia berteriak-teriak histeris. Agus dengan sebelah tangannya menggendong Si Sulung berusaha merangkul Surti. Tapi, tenaga Surti telah berlipat ganda. Ia berontak dari rangkulan Agus.

Seorang petugas memegang kedua tangan Surti. Surti kesal, diludahinya petugas itu. Tersinggung diludahi, tangan besar sang petugas menampar pipi Surti. Melihat istrinya ditampar, Agus kehilangan kendali. Diambilnya sebuah batu di tanah dan dipukulkannya ke kepala petugas. Kepala petugas itu bocor. Darah mengucur deras.

Agus dan Surti diringkus petugas yang lain. Sebelum dibawa ke kantor polisi, petugas yang marah, karena temannya terluka, menghajar Agus. Tubuh Agus babak belur. Ia pingsan. Surti mati rasa. Pikirannya kosong. Si sulung menghilang. Seorang penculik anak, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Surti dan Agus tidak bisa lagi memikirkan anak semata wayangnya itu.

Para petugas trantib pulang ke rumah. Bercengkerama dengan anak istri mereka. Tugas hari itu sudah dilaksanakan dengan baik. Jalan protokol telah bersih. Insentif dijamin dapat. Di balik senyum puas petugas trantib dan atasannya itu, terdengar tawa Surti bercampur tangisan pilu. Tangis yang mendayu, mengiringi lagu kehidupannya. Menyapa Agus yang linglung di penjara.

Otak Agus serasa mau pecah memikirkan keberadaan si Sulung. Mungkinkah Agus menyusul Surti ke rumah sakit gila? Aparat tak lagi peduli. Yang penting jalan bersih. Masyarakat nyaman. Tahun depan sang bakal penguasa terpilih lagi.

“Horas Indonesiaku! Horas penguasa! Aku Surti pendukungmu! Aku adalah sampah yang harus kau buang, Tra la la la la. Kau gus-sur, Tri li li li.” Surti terus bernyanyi sepanjang waktu, diselingi seringai, tawa, tangisan, rintihan dan makian.