Setiap mulainya tahun ajaran baru, banyak orangtua
sibuk mendorong sang batita dan balita agar segera masuk sekolah.
Ternyata masalah tidak berakhir setelah niat – nya kesampaian, karena
sang batita dan balita kok malah rewel dan nangis terus….pengasuhnya
harus kelihatan olehnya..kalau tidak, bisa panik…. Ada pula yang ngadat
nggak mau sekolah …Ada pula yang susah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, mojok terus dan membisu, kalau didekati guru malah
ketakutan…..Sementara itu, ada pula orangtua yang pusing karena mendapat
laporan guru kalau anaknya suka memukuli teman di kelas…..
Problem tersebut banyak dialami oleh anak-anak terutama pada saat
mereka menghadapi situasi, lingkungan atau orang baru. Berbagai sikap
dan perilaku aneh kemudian muncul sebagai reaksi terhadap
ketidaknyamanan yang dirasakannya. Namun demikian, tidak setiap anak
mengalaminya karena ada pula yang mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan bahkan bisa menjalin komunikasi yang interaktif dengan
teman-teman serta gurunya. Sebenarnya, keberadaan problem tersebut bisa
menjadi pertanda adanya masalah psikologis yang harus dicermati oleh
orangtua agar bisa diketahui faktor penyebab dan strategi yang bisa
dilakukan untuk menanganinya agar problem ini tidak sampai
berlarut-larut dan mengganggu perkembangan psikologis dan kemampuan
sosial sang anak.
Berawal dari Pola Hubungan Orangtua-Anak
Dari kaca mata psikologi, banyak masalah yang dialami anak-anak
antara lain bersumber dari pola hubungan yang buruk antara orangtua
dengan anak atau penyebab lain yang akan dibahas kemudian. Dalam artikel
ini akan dibahas seputar pentingnya kelekatan hubungan yang positif
antara anak dengan orangtua dan pengaruhnya bagi perkembangan psikologis
sang anak.
Apakah yang disebut kelekatan ? Banyak orang takut
jika kelekatan antara bayi dengan ibunya bisa membuat anak jadi “bau
tangan”, manja, dan cengeng sehingga muncul nasehat-nasehat seperti :
kalau
anak menangis, biarkan saja…tidak usah ditanggapi…nanti juga diam
sendiri…dia cuma minta perhatian…Latihlah disiplin…mereka sekali-sekali
harus dikerasi supaya tidak manja….Jangan sering-sering memeluk anak,
nanti dia bisa menjajah orangtuanya….Jangan sering-sering mencium anak,
nanti dia jadi manja…Bayi jangan sering-sering dipeluk atau
digendong…..taruh saja di tempat tidur biar tidak bau tangan…..
Begitulah nasehat-nasehat yang sering diperdengarkan pada calon ibu
atau ibu-ibu muda kita. Nasehat tersebut kerapa kali membuat mereka jadi
bingung karena pada prakteknya sering mengalami konflik batin, antara
keinginan untuk memberi perhatian penuh dengan kekhawatiran kelak anak
jadi manja atau tidak tahu diri.
Para ahli psikologi perkembangan dewasa ini makin menilai secara
kritis pentingnya kelekatan (positif) antara anak dengan orangtua.
Kelekatan adalah sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara
resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua).
Kelekatan yang baik dan sehat dialami seorang bayi yang menerima kasih
sayang yang stabil dari kehadiran orangtua yang konsisten; sehingga bayi
atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata
yang penuh kasih dan senyuman orangtua.
Apakah manfaat dari hubungan kelekatan antara anak-orangtua ?
Rasa percaya diri
Perhatian dan kasih sayang orangtua yang stabil, menumbuhkan
keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Jaminan adanya
perhatian orangtua yang stabil, membuat anak belajar percaya pada orang
lain.
Kemampuan membina hubungan yang hangat
Hubungan yang diperoleh anak dari orangtua, menjadi pelajaran baginya
untuk kelak diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan
yang hangat, menjadi tolok ukur dalam membentuk hubungan dengan teman
hidup dan sesamanya. Namun hubungan yang buruk, menjadi pengalaman
traumatis baginya sehingga menghalangi kemampuan membina hubungan yang
stabil dan harmonis dengan orang lain.
Mengasihi sesama dan peduli pada orang lain
Anak yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki
sensitivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya.
Dia mempunyai kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu
kesusahan orang lain
Disiplin
Kelekatan hubungan dengan anak, membuat orangtua dapat memahami anak
sehingga lebih mudah memberikan arahan secara lebih proporsional,
empatik, penuh kesabaran dan pengertian yang dalam. Anak juga akan
belajar mengembangkan kesadaran diri, dari sikap orangtua yang
menghargai anak. Sikap menghukum hanya akan menyakiti harga diri anak
dan tidak mendorong kesadaran diri. Anak patuh karena takut.
Pertumbuhan intelektual dan psikologis
Bentuk kelekatan yang terjalin, kelak mempengaruhi pertumbuhan fisik,
intelektual dan kognitif serta perkembangan psikologis anak.
Faktor Penyebab Gangguan Kelekatan Pada Anak
Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan
kelekatan kasih sayang yang tulus, hangat dan konsisten dari kedua
orangtuanya. Dan menurut ahi psikologi perkembangan, hingga usia 2 tahun
adalah masa paling kritis. Erik Erikson, seorang bapak perkembangan
berpendapat, masalah yang terjadi dalam masa-masa tersebut berpotensi
mengganggu proses perkembangan psikologis yang sehat.
Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan orangtua/pengasuh
Perpisahan traumatik bagi seorang anak bisa berupa : kematian
orangtua, orangtua dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau
anak yang harus hidup tanpa orangtua karena sebab-sebab lain
Penyiksaan emosional (dan pengabaian), penyiksaan fisik atau pun penyiksaan seksual
Setiap anak rentan terhadap penyiksaan emosional maupun fisik dari
orangtua/pengasuh sebagai bagian dari pola asuh dan interaksi
sehari-hari (lihat artikel:
Penyiksaaan & Pengabaian Terhadap Anak).
Sistem pendidikan tradisional yang seringkali menggunakan cara hukuman
(baik fisik maupun emosional) untuk mendidik dan mendisiplinkan anak.
orangtua sering bersikap menjaga jarak dan bahkan ada yang membangun
image “menakutkan”
agar anak hormat dan patuh pada mereka. Padahal cara ini malah membuat
tumbuh menjadi pribadi yang penakut, mudah berkecil hati dan tidak
percaya diri. Anak akan merasa bukan siapa-siapa atau tidak bisa berbuat
apa-apa tanpa orangtua.
Sementara itu, penyiksaan seksual tidak mustahil terjadi pada anak,
yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya, entah itu orangtua
maupun anggota keluarga atau pihak lain. Hal ini kemungkinan terjadi
karena orang tersebut mengalami problem psikologis yang menyebabkan
dirinya mengalami hambatan pengendalian dorongan seksual.
Pengasuhan yang tidak stabil
Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak
menetap oleh satu/dua orangtua, menyebabkan ketidakstabilan yang
dirasakan anak, baik dalam hal “ukuran” cinta kasih, perhatian,
kelekatan dan kepekaan respon terhadap kebutuhan anak. Anak jadi sulit
membangun kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu
berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya
menyesuaikan diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya
diri (merasa kurang ada dukungan emosional).
Sering berpindah tempat/domisili
Seringnya berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak
menjadi lebih sulit, terutama bagi seorang batita atau balita. Situasi
ini akan menjadi lebih berat baginya jika orangtua tidak memberikan rasa
aman dengan mendampingi mereka dan mau mengerti atas sikap/perilaku
anak-anak yang mungkin saja jadi “aneh” akibat dari rasa tidak nyaman
saat harus menghadapi orang baru. Tanpa kelekatan yang stabil, reaksi
negatif anak (yang sebenarnya normal) akhirnya menjadi bagian dari pola
tingkah laku yang sulit diatasi
Ketidakkonsistenan cara pengasuhan
Banyak orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Misalnya,
pada suatu saat orangtua menghukum anak dengan sangat keras, tapi di
lain waktu (mungkin karena merasa bersalah) memenuhi semua keinginan
anak (misal membelikan mainan mahal). Ketiadaan kepastian sikap
orangtua, membuat anak sulit membangun kelekatan tidak hanya secara
emosional tetapi juga secara fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat
diprediksi, membuat anak bingung, tidak yakin dan sulit mempercayai (dan
patuh) pada orangtua.
Problem psikologis yang dialami orangtua
orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah tentu
membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi anak. Hambatan
psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi atau problem stress yang
sedang dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa
berkomunikasi dan
ngobrolenak dengan orangtua, tapi membuat
orangtua kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak. Bahkan,
orangtua sering terlalu sensitif dan emosional, menjadi lebih pemarah
dan kurang sabar menanggapi perilaku anak-anak. Tidak jarang anak
dimarahi atau dipukul, disiksa, atau diberi perlakuan yang sangat tidak
proporsional dibandingkan dengan “kenakalan” yang dilakukan. Tindakan
tersebut beresiko menghancurkan harga diri seorang anak.
Problem neurologis/syaraf
Ada kalanya, gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi
proses persepsi atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia
tidak dapat merasakan adanya perhatian yang diarahkan padanya.
Contohnya, ada kasus seorang bayi yang rewel terus dan
restless karena dalam tubuhnya terdapat unsur
cocaine, atau zat
addictive yang
sudah mempengaruhi pertumbuhan struktur syaraf otak sejak masa konsepsi
(pembentukan jaringan). Problem ini bisa disebabkan masalah alkoholisme
atau obat-obatan yang biasa dikonsumsi orangtua sebelum dan selama masa
kehamilan; atau karena efek samping obat-obatan yang harus diminum anak
akibat penyakit yang sedang dideritanya.
Dampak Problem Kelekatan
Anak-anak yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi akibat problem kelekatan yang dialami, berpotensi mengalami
masalah intelektual, masalah
emosional dan
masalah moral dan sosial di kemudian hari.
Masalah Intelektual
1. Mempengaruhi kemampuan pikir seperti halnya memahami proses “sebab-akibat”
Ketidakstabilan atau ketidakkonsistenan sikap orangtua, mempersulit
anak melihat hubungan sebab-akibat dari perilakunya dengan sikap
orangtua yang diterimanya. Dampaknya akan meluas pada kemampuannya dalam
memahami kejadian atau peristiwa-peristiwa lain yang dialami
sehari-hari. Akibatnya, anak jadi sulit belajar dari kesalahan yang
pernah dibuatnya.
2. Kesulitan belajar
Kurangnya kelekatan dengan orangtua, membuat anak lamban dalam
memahami baik itu instruksi maupun pola-pola yang seharusnya bisa
dipelajari dari perlakuan orangtua terhadapnya atau kebiasaan yang
dilihat/dirasakannya.
3. Sulit mengendalikan dorongan
Kebutuhan emosional yang tidak perpenuhi, membuat anak sulit
menemukan kepuasan atas situasi / perlakuan yang diterimanya, meski
bersifat positif. Ia akan terdorong untuk selalu mencari dan mendapatkan
perhatian orang lain. Untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga, dengan
caranya sendiri untuk mendapatkan jaminan bahwa dirinya bisa mendapatkan
apa yang diinginkan.
Masalah Emosional
1. Gangguan bicara
Menurut sebuah hasil penelitian, problem kelekatan yang dialami anak
sejak usia dini, dapat mempengaruhi kemampuan bicaranya. Dalam dunia
psikologi, hingga usia 2 tahun dikatakan sebagai masa oral, dimana
seorang anak mendapat kepuasan melalui mulut (menghisap – mengunyah
makanan dan minuman). Oleh sebab itu lah proses menyusui menurut para
ahli merupakan proses yang amat penting untuk membangun rasa aman yang
didapat dari pelukan dan kehangatan tubuh sang ibu. Ada kemungkinan anak
yang mengalami hambatan pada masa ini akan mengalami kesulitan atau
keterlambatan bicara.
Memang, secara psikologis anak yang merasakan ketidaknyamanan akan
kurang percaya diri dalam mengungkapkan keinginannya. Atau, kurangnya
kelekatan tersebut membuat anak berpikir bahwa orangtua tidak mau
memperhatikannya sehingga ia lebih banyak menahan diri. Akibatnya, anak
jadi tidak terbiasa mengungkapkan diri, berbicara atau mengekspresikan
diri lewat kata-katanya. Ada pula penelitian yang mengatakan, bahwa
melalui komunikasi yang hangat seorang ibu terhadap bayinya, lebih
memacu perkembangan kemampuan bicara anak karena si anak terpacu untuk
merespon kata-kata ibunya.
2. Gangguan pola makan
Ada banyak orangtua yang kurang responsif / kurang tanggap terhadap
tangisan bayinya. Mereka takut jika terlalu menuruti tangisan bayinya,
kelak ia akan jadi anak manja dan menjajah orangtua. Padahal, tangisan
seorang bayi adalah suatu cara untuk mengkomunikasikan adanya kebutuhan
seperti halnya rasa lapar atau haus. Ketidakkonsistenan orangtua dalam
menanggapi kebutuhan fisiologis anak, akan ikut mengacaukan proses
metabolisme dan pola makan anak.
3. Perkembangan konsep diri yang negatif
Ketiadaan perhatian orangtua, sering mendorong anak membangun
image bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan siapa pun.
Image itu
berusaha keras ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Padahal, dalam dirinya tersimpan ketakutan, rasa kecewa, marah, sakit
hati terhadap orangtua, sementara ia juga menyimpan persepsi yang buruk
terhadap diri sendiri. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa
disingkirkan, merasa tidak berharga sehingga orangtua tidak mau mendekat
padanya (dan, memang ia juga merasa tidak ingin didekati)
Tanpa sadar semua perasaan itu diekspresikan melalui tingkah laku
yang aneh-aneh, yang orang menyebutnya “nakal”, “liar”, “menyimpang”.
Mereka juga terlihat suka menuntut secara berlebihan, suka mencari
perhatian dengan cara-cara yang negatif, sangat tergantung, tidak bisa
memperhatikan orang lain (tapi menuntut perhatian untuk dirinya), sulit
mencintai dan menerima cinta dari orang lain.
Masalah Emosional
Anak akan sulit melihat mana yang baik dan tidak, yang boleh dan
tidak boleh, yang penting dan kurang penting, dari keberadaan orangtua
yang juga tidak bisa menjamin ada tiadanya, yang tidak dapat memberikan
patokan moral dan norma karena mereka mengalami kesulitan dengan dirinya
sendiri, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri,
kesulitan dalam mengendalikan dorongan mereka sendiri. Akibatnya, anak
hanya meniru apa yang dilihatnya dari orangtua dan mencari cara agar
tidak sampai terkena hukuman berat.
Tidak jarang anak-anak tersebut memunculkan sikap dan tindakan
seperti : suka berbohong (yang sudah tidak wajar), mencuri (karena ingin
mendapatkan keinginannya), suka merusak dan menyakiti (baik diri
sendiri maupun orang lain), kejam, dan menurut sebuah penelitian, mereka
cenderung tertarik pada darah, api dan benda tajam.
Bagaimana Membangun Kelekatan yang Baik Dengan Anak ?
Kesiapan mental untuk menjadi orangtua Memiliki
anak membawa implikasi yang luas, tidak hanya merubah peran dari suami /
istri, menjadi seorang ayah / ibu. Ada komitmen dan tanggung jawab yang
harus disadari dan dijalankan. Oleh sebab itu, perlu “hati dan pikiran”
yang tenang untuk menjalani proses menjadi orangtua. Hati dan pikiran
yang tenang, akan menciptakan rasa nyaman pada janin yang sedang
dikandung; dan, jangan lupa bahwa ketenangan dan kesiapan hati tersebut
mendorong keseimbangan hormon yang mendukung proses kehamilan yang
sehat. Selain itu, kesiapan mental juga merupakan suatu kondisi yang
diperlukan terutama untuk menghindari konflik dan ketegangan yang bisa
muncul di antara suami-istri akibat perubahan yang terjadi. Kesiapan
tersebut membuat masing-masing sadar dan berusaha menahan diri untuk
tidak saling menyakiti, karena dilandasi kesadaran, bahwa kedua nya
saling membutuhkan untuk saling menguatkan.
Ciptakan komunikasi yang hangat sejak dini
Berkomunikasi dengan anak tidak dimulai sejak anak lahir, melainkan
sejak ia dalam kandungan. Sejak itu proses kelekatan pun dimulai.
Berbicaralah padanya meski ia masih belum tampak secara lahiriah. Sapa
lah dia, bernyanyilah untuknya dan pelihara/pertahankan kestabilan
emosi. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa seorang anak bisa
memahami apa yang terjadi dalam diri sang ibu meski ia belum lahir. Hal
itu bisa dibuktikan dari munculnya kecenderungan tertentu yang ada pada
anak, misalnya pencemas, super sensitif atau pemarah – dihubungkan
dengan persoalan yang sedang dihadapi sang ibu pada masa dan pasca
kehamilannya.
Upayakan program menyusui
Proses menyusui, bukan hanya sekedar memberikan ASI yang berkualitas.
Namun menyusui merupakan proses yang melibatkan dua belah pihak, bahkan
tiga belah pihak : suami – istri dan anak. Kegiatan menyusui merupakan
moment yang
sangat ideal untuk membangun kontak batin yang erat, melalui kelekatan
fisik dan kontak mata yang intensif. Proses ini membutuhkan “hati” yang
tenang dan penuh kasih, karena produksi ASI akan terpengaruh oleh faktor
fisik dan emosional. Oleh sebab itu, perlu kerja sama yang baik dan
sikap saling memahami serta saling menghargai antara suami-istri agar
segala persoalan yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa
menyebabkan ketegangan dan tekanan emosional yang mengganggu hubungan
dengan anak.
Tanggapilah tangisan bayi / anak secara positif
Banyak orangtua yang menganggap bahwa tidak baik selalu menanggapi
tangisan bayi, karena bayi perlu dilatih untuk tidak menjadi manja dan
supaya jantungnya kuat. Memang, pada beberapa kasus pemikiran tersebut
bisa diikuti, tapi tidak selamanya. Karena, hanya melalui menangis–lah
seorang bayi dapat mengkomunikasikan ketakutannya, kelaparannya,
kehausannya, keinginannya akan kehangatan, keinginannya untuk dibelai,
rasa tidak enak badan, kedinginan, kepanasan dan rasa tidak enak yang
lain. Jangan lupa, bayi adalah makhluk paling tidak berdaya dan tidak
berdosa, tidak punya maksud buruk. Jadi, tangisannya adalah murni muncul
dari kebutuhannya. Bayangkan, jika orangtua menunda respon terhadap
ketakutannya, maka bayi akan merasa frustrasi. Dari situ lah ia juga
belajar, bahwa orangtuanya tidak bisa memberikan jaminan akan kasih
sayang, bahwa dirinya tidak terlalu berharga untuk diperhatikan
kebutuhannya.
Upayakan kebersamaan dalam keluarga inti
Jaman sekarang, banyak keluarga yang menggunakan jasa baby sitter
untuk mengasuh anak. Ironisnya, ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak
bekerja, tidak mempunyai kegiatan apapun kecuali arisan, ke salon dan
shopping,
mempunyai banyak asisten dan pembantu – namun anaknya sepenuhnya diurus
oleh baby sitter. Tidaklah mengherankan jika kelak antara dia dengan
anaknya tidak terlihat suatu kelekatan yang positif karena anaknya
lebih
nempel dengan ‘suster-nya. Situasi ini tidak mendorong
proses perkembangan psikologis dan identitas yang sehat. Anak tetap
melihat dirinya diabaikan oleh ibunya sementara sang ibu memperhatikan
anak melalui berbagai barang dan mainan yang dibeli atau pun uang jajan
yang berlebihan.
Kelekatan yang positif, membutuhkan kerja sama setiap angota
keluarga. Ciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, dipenuhi perasaan
tenang, senang dan santai. Jika bepergian bersama, (dan jika
memungkinkan), berlatihlah sejak dini untuk tidak menyertakan sang
suster – agar anak terbiasa berada bersama dan dekat orangtua, agar anak
lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtua, agar anak bisa
merasakan senangnya jalan-jalan dengan ‘mama-papa. Sementara itu,
orangtua juga belajar dari anaknya, dan melihat hasil didikannya selama
ini melalui sikap dan perilaku anak. Dengan demikian, orangtua bisa
memahami perilakunya sendiri, mana yang perlu diubah dan mana yang perlu
ditingkatkan
TANYA:
Saya ingin bertanya, bagaimana mengenali gejala apakah seorang anak
dikategorikan sebagai anak yang hiperaktif atau tidak? Apa penyebabnya
dan bagaimana mengatasinya. Terima kasih atas jawabannya.
Yohana Mei
JAWAB:
Ibu Yohana, tanda-tanda hiperaktivitas biasanya tidak berdiri
sendiri. Pada umumnya hiperaktivitas menjadi bagian dari ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) yang dicirikan dengan adanya :
- kesulitan memusatkan perhatian (perhatian mudah terganggu oleh
suara-suara atau tanda-tanda, sulit memusatkan perhatian pada hal-hal
detail seperti menyelesaikan suatu pekerjaan dan mempelajari hal-hal
baru, sulit mengikuti instruksi secara utuh dan cermat, sering
kehilangan benda-bendanya seperti mainan, pensil, buku karena lupa
setelah meletakkannya, sering membuat kesalahan akibat kecerobohan)
- hiperaktivitas (selalu bergerak, tidak bisa duduk diam dan
mendengarkan/mengikuti pelajaran sampai selesai, selalu menggerakkan
kaki/tangan, menyentuh benda-benda yang ada di sekelilingnya, mengetukan
pensil terus menerus ke meja, memanjat, restless, dan mudah sekali
berganti aktivitas dalam sekejap)
- impulsivitas (sulit untuk mengendalikan reaksi sehingga mereka
bertindak/bereaksi sebelum sempat memikirkannya; sulit menahan diri dan
keinginan, menjawab sebelum yang bertanya menyelesaikan kalimatnya.
Namun, kita harus lebih jauh mempertanyakan keadaan tersebut :
- seberapa parah perilakunya dan sudah berlangsung berapa lama ? bagaimana perilakunya dibandingkan dengan anak seusianya ?
- apakah perilaku tersebut hanya muncul saat tertentu saja atau hanya di tempat-tempat tertentu saja?
Jika ternyata hiperaktivitas, impulsivitas dan inattentiveness tampak
berat dan sudah berlangsung lama/sejak kecil, dan tanda-tanda tersebut
terlihat setiap hari atau bahkan setiap saat, maka kemungkinan anak
tersebut mengalami hiperaktivitas atau bahkan ADHD.
Kita harus berhati-hati sekali dalam mendiagnosa apakah anak tersebut
mengalami ADHD – hiperaktivitas atau tidak karena dalam usia tertentu,
setiap anak memang menunjukkan ciri-ciri hiperaktivitas, hambatan
konsentrasi dan impulsivitas – namun tidak bisa dikatakan mengalami
gangguan / ADHD. Apalagi jika si anak sedang mengalami masalah yang
tidak bisa diungkapkannya atau dirumuskannya sendiri sehingga ia
mengalami frustasi yang termanifestasi dalam sikap/perilaku seperti
hiperaktivitas. Perlu diagnosa dari ahlinya secara langsung seperti
dibawa ke psikolog, atau psikiater.
Sebab dari hiperaktivitas sejauh ini belum diketahui secara jelas,
meski pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ADHD berkorelasi
dengan adanya defisiensi pada neurotransmitter tertentu di otak bagian
bawah. Namun penelitian ini juga masih terus berlanjut sampai sekarang.
Yang jelas, para ahli menyatakan bahwa ADHD tidak disebabkan oleh faktor
lingkungan (baik itu lingkungan sosial maupun keluarga) namun lebih
disebabkan faktor biologis.
Penanganan :
Sejauh ini para ahli melakukan penanganan terhadap anak-anak ADHD atau pun kombinasinya dengan cara :
1. Medis / obat-obatan. Ada beberapa jenis obat-obatan yang
memang dipergunakan untuk penderita ADHD untuk mengurangi simtom/gejala
dan membantu anak tersebut untuk lebih bisa mengendalikan diri,
memusatkan perhatian dan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Jika si
anak mengalami keberhasilan dalam pekerjaan yang sederhana sekali pun
(setelah mengkonsumsi obat tersebut), dapat meningkatkan harga diri dan
rasa percaya dirinya. Sayangnya, obat-obatan ini tetap harus
dipergunakan seterusnya meskipun ada beberapa dokter yang memperbolehkan
untuk sementara libur mengkonsumsi obat tersebut (misal sedang liburan
sekolah, jadi anak tersebut juga libur). Pasalnya, setiap obat pasti ada
efeknya, seperti misalnya gangguan hati. Oleh sebab itu, dokter juga
merekomendasikan agar anak-anak tersebut selalu cek up secara rutin
dalam periode tertentu untuk mengontrol dan mencegah sejak dini hal-hal
negatif sebagai efek samping pengobatan yang diberikan.
2. Psikoterapi. Psikoterapi diperlukan baik oleh individu/anak
yang bersangkutan, maupun orang tua (dan kakak/adik nya). Psikoterapi
yang ditujukan pada anak ADHD dimaksudkan agar mereka semakin mempunyai
kemampuan dalam mengekspresikan emosi secara tepat, bisa mengendalikan
diri/emosi dan bisa mengendalikan perilaku.
Cognitive-behavioral therapy merupakan
salah satu metode untuk mengembangkan kemampuan dalam menghadapi,
menyelesaikan dan memfokuskan diri pada tugas yang sedang dihadapi.
Sedangkan
social skill-training, diperlukan untuk
mengajarkan perilaku sosial seperti berbagi permainan, minta tolong,
cara mereaksi yang tepat terhadap sikap orang lain, mengenali ekspresi
orang lain, mengendalikan ekspresi diri sendiri.
3. Support group dan parenting skill-training. Orang tua dan
anggota keluarga yang lain sebaiknya mengikuti program ini supaya bisa
lebih memahami tidak hanya sikap dan perilaku anak, tetapi juga tahu apa
yang dibutuhkan oleh mereka baik secara psikologis, kognitif
(intelektual) maupun fisiologis. Jika si anak merasa bahwa orang tua dan
anggota keluarga lain bisa mengerti keinginannya, perasaannya,
frustasinya, maka kondisi ini akan meningkatkan kemungkinan anak
tersebut dapat tumbuh selayaknya orang-orang normal lainnya.
Di bawah ini akan saya kemukakan beberapa model penanganan yang menurut beberapa ahli tidak diperlukan oleh anak-anak ADHD:
- Biofeedback
- Diet tertentu
- Perlakuan khusus untuk alergi
- Obat-obatan untuk menangani masalah pendengaran
- Megavitamin
- Penanganan chiropractic dan bone re-alignment
- Penanganan untuk infeksi jamur
- Latihan mata
- Kaca mata warna khusus
Anak-anak yang mengalami hiperaktivitas, dengan penanganan yang
intensif, dan didukung penuh oleh pihak keluarga secara konsisten….tidak
mustahil bisa tumbuh selayaknya orang normal yang bisa menjalankan
aktivitasnya seperti biasa dan berdikari.
Jika Anda masih mempunyai pertanyaan lebih lanjut, silahkan
menanyakan langsung pada kami. Kami harap informasi ini dapat bermanfaat
bagi Anda, Bu Yohana…
Self-Esteem Anak-anak dan Persepsi Mereka Terhadap Pola Komunikasi Orangtua-Anak Level
dan kestabilan Self-Esteem (SE) pada anak berusia 11 – 12 tahun
ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil persepsi mereka
terhadap berbagai aspek yang terkait dalam hubungan komunikasi orangtua –
anak. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Anita Brown, dkk dari
University of Georgia. Dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki
Self-esteem yang stabil, anak-anak dengan SE yang tidak stabil
melaporkan bahwa orangtua mereka ternyata suka mengkritik, mengontrol
secara berlebihan, dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang
dilakukan oleh anaknya. Sementara itu, anak-anak dengan Self-Esteem
rendah melaporkan bahwa orangtua mereka lebih banyak mengkritik,
mengawasi dengan ketat dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif
yang dilakukan anaknya dalam rentang waktu yang cukup lama dibandingkan
dengan anak-anak yang memiliki Self-Esteem tinggi. Sementara itu, ayah
(orangtua) dari anak-anak yang memiliki Self Esteem tinggi dianggap
memiliki kemampuan khusus dalam memecahkan masalah atau persoalan hidup.