Rabu, 07 November 2012

Bulan Merah Jambu



Pagi terasa sepi. Diam tak ada suara. Aku merasa nyaman dipeluk ketenangan. Sunyi. Senyap. Tetapi itu tak lama.

“Zuha muncul di koran! Zuha muncul di koran!” sebuah suara membuat ketenangan melepaskan pelukannya. Suara Idha. Dan bukan hanya mulutnya yang bersuara. Dari kakinya pun keluar suara gedebag-gedebug yang keras. Pula, dalam hitungan detik terdengar pintu berderit. Bahkan berdebam. Mungkin empunya kamar membuka dengan sangat bersemangat. Keheningan pagi terburai menjadi serpih. Lalu ada riuh. Aku tergoda. Bukan karena riuhnya, tapi karena satu nama yang diteriakkan Idha.

Zuha! Zuha muncul di koran!
Akulah yang terakhir membuka pintu. Di dekat meja, kulihat lima gadis mengerumuni Idha yang tengah membentangkan koran. Wajah mereka sangat antusias. Nainy yang pertama kali mendongak ke arahku. “Tabita, Zuha! Ia mengajar anak-anak di sana…,” gadis itu berkata kemudian memberikan tempatnya untukku. Juga jarinya menunjuk kolom yang tengah menjadi pusat perhatian.

Oh, Tuhan. Tak apalah hening pagi terburai menjadi serpih. Sebab wajah di lembaran koran itu memang Zuha. Ia berdiri anggun dengan baju merah dan kerudung biru tua. Di belakangnya ada papan tulis dan di depannya anak-anak yang tak berbaju seragam. Mereka bersama dalam sebuah tenda. Sebuah judul mengantar tulisan tentangnya. Zuha pun Turut Mengajar.

Aku melihatnya beberapa saat dan tenyata mataku memanas. Meski bukan foto close up, rasanya dapat kulihat wajahnya dengan jelas. Wajah tirus sejalan dengan tubuhnya yang kurus. Namun, mata yang terletak di bawah lengkung kerudung itu sangat teduh. Sangat teduh. Anak-anak yang duduk di depannya itu pasti dapat merasakan keteduhan matanya meski mata itu sempat bengkak ketika televisi menyuguhkan gambar-gambar memilukan tentang tanah kelahirannya yang luluh lantak tertimpa gelombang dahsyat. Rasanya wajah teduh itu belum lama meninggalkan tempat ini. Pondokan putri yang kamarnya tujuh buah dan salah satu penghuninya adalah dia. Tak lama mata panasku melahirkan bulir bening di kedua sudutnya. Aku terisak. Lalu menyusul isak yang lain. Satu satu hingga semua terisak. Semua mata melahirkan bulir bening yang kemudian pecah menjadi sungai. Pagi ini kami kembali menangis untuk Zuha.

Hari sudah malam. Koran pagi masih kupegang. Aku berdua dengan Nainy duduk di beranda. Bulan bundar menggantung di langit yang berawan. Sudah beberapa hari ini hujan tak datang menyapa. Mungkin hujan sedang berpuas-puas menjatuhkan diri di beberapa tempat — yang bukan tempat ini. Lalu datanglah banjir di sana. Agh, betapa kita sedang sangat akrab dengan bencana.

“Dia tampak tegar, Nain,” aku berkata. Aduh Zuha, malam ini obrolan kami belum juga beranjak dari kamu.
“Aku bersyukur, Ta. Andai aku jadi dia, pasti aku sudah gila dibuatnya. Bagaimana mungkin bapak yang malamnya masih berbicara di telepon paginya hilang dimakan gelombang,” Nainy berkata dengan wajah sayu. Anganku melompat. Dulu, begitu sering aku, Zuha, dan Nainy menikmati malam di beranda. Mungkin karena kami terhitung penghuni paling lama di pondokan ini, maka kami bertiga sudah demikian menyatu sebagai sahabat.

Kami suka memandang rembulan. Terlebih jika ia purnama. Kami ngobrol apa saja. Bahkan suka melantur kemana-mana. Termasuk membicarakan rembulan yang sedang menggantung di langit malam.
“Apakah warna rembulan?” Zuha pernah bertanya.
“Kuning emas!” jawabku yakin dan mantap.
“Kuning agak jingga,” sangkal Nainy kalem.
“Menurutku, bulan berwarna merah jambu,” ujar Zuha disambut penolakan dari aku dan Nainy.
Bagaimana mungin bulan berwarna merah jambu. Aku menunjuk pohon jambu di seberang jalan yang kebetulan sedang berbuah. Warnanya merah. Dan bulan tak sewarna dengan warna merah buah itu. Namun Zuha justru bersenandung: bulan merah jambu, luruh di kotamu, kuayun sendiri langkah-langkah sepi, menikmati angin, menabuh daun-daun, mencari gambaranmu di waktu lalu, sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tercipta nelangsa, merengkuh sukma.*)

Selanjutnya, berkali-kali kita kita di beranda. Dan tetap saja kau katakan bahwa bulan berwarna merah jambu meski aku dan Nainy selalu menolaknya. Agh, Zuha. Sedang apa kau malam ini? Apakah di sana juga sedang terlihat rembulan? Dan apakah akan kau katakan pada orang-orang bahwa warnanya merah jambu? Bukan kuning emas atau kuning agak jingga?

Wajah teduhmu di koran ini membuat segala kenangan tentangmu bertaburan di udara pondokan. Terutama kenangan hari Minggu pagi itu. Kakiku sakit. Mungkin keseleo waktu bergegas-gegas di tangga pondokan. Maka, pukul lima empat lima kau kendarai motor mengantarku ke gereja untuk ibadah pukul enam. Gereja ramai oleh jemaat sebab aroma natal masih kental. Waktu itu aku tak dapat pulang untuk merayakan natal bersama keluarga. Rumahku juga jauh di pulau seberang sementara kita dalam musim ujian. Kau turunkan aku hingga halaman. Jemaat yang hendak masuk memperhatikan kita seolah melihat alien yang barusan turun dari langit. Ada dua hal yang sangat mungkin membuat kita menjadi pusat perhatian. Pertama, kakiku yang berjalan terpincang-pincang. Kedua, kerudung birumu sebagai sebuah bagian pakaian yang tak lazim dipakai orang di lingkungan gereja (di Indonesia).

Namun, daripada merasa salah tingkah dengan perhatian orang, kau memilih untuk tetap berwajah teduh. Juga tak segera beranjak untuk memastikan aku bisa masuk ke ruang ibadah dengan selamat. Dalam gereja, kupanjatkan syukur untuk bantuan yang terasa tulus kau lakukan. Usai kebaktian, begitu keluar pintu sudah kudapatkan kau siap membawaku pulang kembali ke pondokan. Kita kembali menjadi tumpuan perhatian banyak orang. Tapi kita sambut keheranan itu dengan senyuman yang ringan. Kau starter motor, dan begitu melaju, kerudung birumu melambai melawan angin yang menghembus.

Ah, ya. Pagi itu kau memakai kerudung baru. Kemarin kerudung itu masih terbungkus rapi dalam kertas kado bergambar bunga lili. Aku dan Nainy memberikan padamu untuk ulang tahunmu yang keduapuluh satu. Kami memang memilih untuk memberimu kado kerudung berwarna biru. Sebab kami tahu kau menginginkan benda itu. Dua minggu sebelumnya, kita menjelajah Pasar Klewer mengantar Nainy yang diminta untuk belanja pakaian bayi. Menurut hitungan dokter, kakaknya sebentar lagi akan melahirkan.

Kita usai belanja lantas berusaha keluar melalui lorong-lorong ramai dan sumpek. Lorong-lorong itu kunamai labirin. Sebab ia ruwet sehingga aku tak pernah dapat masuk dan keluar pada celah keluar yang sama. Di depan kios kerudung kita tertahan kuli yang sedang membongkar barang. Kita pun berhenti. Matamu tertuju pada sebuah kerudung yang tersampir sebagai barang dagangan. Kau bertanya pada penjualnya, berapa harganya? Ia menjawab, tujupuluh lima ribu. Ouw, harga yang mahal untuk sebuah kerudung. Namun kerudung biru itu memang halus sebab terjalin dari benang sutera. Matamu berpijar menginginkannya. Hanya, kau tak membelinya sebab dompetmu hanya dompet mahasiswa yang lebih sering tebal karena berjenis-jenis kartu dan bukannya uang. Sama persis, dompetku dan Nainy.

Dua puluh lima Desember kau berulang tahun. Tiga hari sebelum tanggal itu, aku dan Nainy kembali menjelajah Pasar Klewer. Mencari kios yang menjajakan kerudung yang dulu kau suka. Itu bukan perkara mudah. Pasar Klewer bukan mall yang serba teratur dan rapi. Entah kami telah berputar berapa kali sebelum akhirnya dapat menarik nafas lega. Kami menemukannya. Dan nafas kami bertambah lega saat kami bisa menawarnya. Dari harga tujupuluh lima ribu yang ditawarkan, kami bisa membuat pedagang itu melepaskan dengan harga lima puluh ribu saja. Kami berbagi. Aku duapuluh lima ribu, Nainy juga duapuluh lima ribu. Kau senang menerimanya. Bahkan, begitu kau buka bungkusnya, dengan antusias kau langsung memakainya. Hari selanjutnya kerudung itu masih kau pakai, juga untuk mengantarku ke gereja. Minggu pagi itu kau masih tersenyum-senyum senang. Terlebih Sabtu malam, abimu di Meulaboh menelepon mengucapkan selamat ulang tahun. Kau bilang, umimu juga turut bicara dan kau juga dapat mendengar suara adik-adikmu walau sayup-sayup saja. Namun siapa sangka bila itu menjadi suara terakhir yang kau dengar?

Minggu siang menjelang sore. Teve dinyalakan untuk melepas penat habis membaca bahan-bahan ujian. Seketika tawa kita berganti duka. Air laut yang didorong gempa telah meluluh-lantakkan segalanya. Kau menangis namun tetap ada ketabahan pada sedu sedannya. Meski demikian matamu bengkak juga. Dua minggu berikutnya kau memaksa untuk pulang. Katamu, kau akan mencari keluargamu. Kami tak dapat menahan meski kami khawatir sebab di sana pasti penuh ketidakpastian. Sore itu kami antar kau hingga pemberangkatan.

Sebulan lalu datang kabarmu lewat pesan pendek di layar ponselku. Abi dan umimu meninggal. Juga dua adikmu yang kau sayangi. Namun, syukur pada Tuhan masih ada satu adik yang selamat. Kau juga bilang, kau tak mungkin lagi kembali ke kota ini meski jelas kuliahmu belum usai. Sebab, di kota ini kau pasti tak dapat melakukan apa-apa sementara di sana banyak kesedihan yang menanti untuk ditangani. Karena itu, kau bilang, meski sedikit aku akan bertindak.

Dan kau memang melakukannya. Pagi tadi, di koran ini dapat kami lihat wajah teduhmu, dibalut kerudungmu yang berwarna biru. Kau berdiri di depan anak-anak yang juga merasakan kehilangan. Apa yang kau katakan pada mereka, Zuha? Berita di koran tak menuliskannya. Namun pasti kata-kata yang menguatkan sebab kau telah membuktikan jika kau kuat menanggung kesedihan seperti yang mereka punya.

“Tabita, sudah malam… masuk yuk,” suara Nainy memutus ingatan yang mengembara ke mana-mana. Kulihat di sudut matanya ada bulir bening seperti tadi pagi. Pasti ia juga larut mengingat Zuha. Kami pun berurut masuk pintu pondokan. Di luar bulan masih menggantung disaput awan. Dulu, kami suka berdebat tentang warnanya.

Bandung, 2005
Untuk Yanti di Nias.

Selasa, 06 November 2012

DUA LEMBAR UANG SERATUS RIBUAN



LELAKI itu membangun rumah entah untuk siapa. Kalau untuk anak-anaknya kelak, kenapa ia tak sempat menulis sepucuk surat wasiat? Sebelum kematian tiba, dia hanya meninggalkan dua lembar uang seratus ribu rupiah di almari tua, yang penuh debu dan dendam.

Uang itu, secara kebetulan, aku temukan seminggu selepas dia dikebumikan. Aku bergetar, nyaris pingsan dan sampai kini masih terus dihantui pertanyaan; apa salah dan dosaku sampai uang itu tidak sempat ia sentuh untuk membeli obat di saat kematian mau menjemput?

Aku terpaksa pulang hari itu seusai ibu menelpon dan bercerita kalau ayah sakit, terbaring di rumah sakit. Ritmis napasnya mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung, dan tak bergemuruh ketika aku tiba di rumah sakit petang itu. Kening ayah yang penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, seperti menguapkan kesedihan tatkala aku mendekat dan duduk di ujung ranjang.

Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak punya harapan hidup lagi dan air mataku seketika mau tumpah. Sebuah air mata penantian seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah tak sadarkan diri, terbaring seperti patung. Karena itu, ibu sengaja membiarkanku terpaku menatap wajah ayah.

Duduk bersidekap sedih di ujung ranjang ayah yang terbaring koma, kembali mengingatku retak kisah sepanjang malam ketika aku masih remaja dulu. Ia nyaris tak pernah keluar malam sampai aku setengah mati membenci ayah. Dia nyaris hanya menghabiskan malam, selepas dari mushalla untuk menunaikan shalat jamaah, lalu mendengarkan radio tua, menutup koran usang, lalu beranjak tidur. Hari-hari ayah, selalu berlalu dengan ditemani radio tua yang berderak, koran bekas dan sisa napas yang tersengal di ambang malam saat ia terbangun untuk menunaikan shalat tahajud.

Saat itu aku masih remaja. Tapi aku nyaris tak mampu melupakan malam yang melukai kalbu, sewaktu tuntutanku pada ayah untuk masuk STM tak dipenuhi. Aku kemudian menghabiskan malam-malamku di luar rumah, pulang tengah malam atau menjelang pagi. Aku selalu gemetar mengetuk pintu, karena ibu yang selalu membukakan pintu dan bertanya, “Dari mana saja kamu?”

Aku tak pernah merasa perlu untuk menjawab pertanyaan ibu. Aku kemudian menerabas ke kamarku dan menutup pintu dengan rapat. Malam-malamku selalu berlalu dengan kepulanganku yang menyedihkan. Untung kegelapan membuatku berani menatap langit dan tak lagi sakit-sakitan. Jadi, aku tak lagi takut pada malam dan selepas es em u (SMU), aku memutuskan pergi dari rumah.

Dengan doa ibu, aku kemudian kuliah dan bisa lulus. Dan selepas kuliah, aku kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup layak di Jakarta. Tetapi, aku seperti anak hilang yang lupa jalan untuk pulang. Aku baru pulang saat ayah sudah terbaring, setelah hampir dua setengah tahun tak menginjakkan kaki di beranda.

Kepulanganku itu bermuasal dari sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku tiba-tiba terjerat rasa iba, tepat pada hari aku menerima gajian di bulan pertama kerjaku. Aku lalu mengirimkan uang dua ratus ribu rupiah lewat wesel buat ayah karena aku dengar ayah sudah mulai sakit-sakitan.

SEMINGGU setelah aku mengirim uang itu, ibu menelponku. Aku kaget, karena ibuku nyaris tak pernah menelpon. Aku pikir ibu akan bertanya soal kiriman uang itu. Tapi dugaanku ternyata salah. Ibu justru memintaku untuk segera pulang, karena ayah jatuh di kamar mandi. Pingsan.

“Cepatlah pulang!” pinta ibu dengan suara getir yang kudengar dari gagang telepon, serasa menguraikan air mataku di ujung kelompak mata untuk segera tumpah.

Setelah minta izin dari kantor, aku segera pulang. Tahu kalau ayah dirawat di rumah sakit, aku merasa tak perlu mampir ke rumah melainkan langsung ke rumah sakit. Ada rasa hampa tatkala aku memasuki halaman rumah sakit, menyusuri bangsal demi bangsal dan kemudian sampai di ruang ICU, di mana ayah dirawat.
Saat memasuki ruang ICU itu, rasa cemas membuatku gemetar. Aku merasa sedih, dan dalam hatiku tiba-tiba tebersit pikiran jika sampai ayah meninggal dan aku belum sempat meminta maaf, tentu aku akan menjadi anak durhaka.

Aku terus berjalan mencari kamar ayah yang terbaring tak berdaya dan desah nafas ayah sudah aku rasakan seperti naik turun di dadaku. Salah satu tangannya tertusuk jarum infus, sungguh serasa menyiksa urat nadiku. Ayah yang dulu gagah seketika seperti tak berarti lagi di depan anaknya yang sedang berjalan mau menjenguk.

Aku dengar pula ritmis napas ayah mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung, sedih dan tidak bergemuruh ketika aku tiba-tiba menjumpai sebuah ruangan saat aku longokkan kepala dan menjumpai ayah sedang terbaring tidak sadarkan diri. Kening ayah penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, menguapkan kesedihan saat aku masuk dan duduk di ujung ranjang.

Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak punya harapan lagi, dan air mataku serasa hampir tumpah. Setitik air mata penantian dari seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah sudah tak sadarkan diri, terbaring mirip patung ketika aku datang mau menjenguk setelah nyaris dua setengah tahun tak pulang. Karena itu, ibu membiarkan aku terpaku meneliti wajah ayah.

Tetapi, tiba-tiba aku tergeragap setengah detik kemudian karena ibu berucap, “Kalau bisa, kamu jangan balik ke Jakarta dulu sampai ayahmu sadar dari siuman!”
Aku berpaling ke arah ibu, “Ya, Bu! Semoga ayah segera sadar.”
“Untung kakak sepupumu, Ahsanudin mau menanggung semua biaya rumah sakit. Aku tak lagi memikirkan dari mana kau mendapatkan uang!” lanjut ibu pelan, membuatku lega.

Lalu malam turun. Dari celah jendela, kulihat ada secercah cahaya yang merekas dari daun pohon akasia di halaman rumah sakit yang mulai gelap. Aku kemudian pamit kepada ibu untuk pulang ke rumah dan berjanji akan besuk kembali esok hari.

HUBUNGANKU dengan ayah, bisa dikata cukup unik. Aku anak kedua dari tiga bersaudara yang tidak ubahnya anak tiri. Ah, mungkin aku cukup sentimentil untuk menyebut anak tiri. Tetapi, aku tak memiliki ungkapan lain untuk menyebut hubungan musykilku dengan ayah. Mengharap perhatiannya, aku seperti menanti kematian saja. Aku tak berdaya.

Mungkin ayah tak salah. Dari cerita orang-orang kampung, dari pernikahan ayah dengan ibu memang tak segera dikarunia anak. Di usia empat tahun perkawinan yang nyenyat, siapa yang tak sedih tatkala lahir bayi yang ditunggu-tunggu, ternyata justru menghembuskan nafas tatkala ibu mengejan kesakitan. Anak pertama meninggal, anak kedua ayah pun bernasib serupa. Lalu, kakakku lahir ketika harapan ayah untuk menimang putra itu terkabulkan. Jadinya, kakakku dimanja ayah sampai setengah mati.

Ayah merasa ia sebagai lelaki tulen dan berjanji akan memenuhi setiap permintaan kakakku. Keberkahan itu juga membuat aku lahir lalu disusul adikku. Jadi kami tiga bersaudara, semua laki-laki. Tapi aku nyaris tumbuh tanpa perhatian. Kasih ibu dan ayahku hampir sepenuhnya jatuh pada kakakku dan adikku.
Kakakku menjadi lambang penyelamat keluarga karena setelah nyaris ayah tak dikaruniai anak dan adikku, karena ragil, juga selalu mendapat perhatian lebih. Aku terbengkalai, kalah. Apalagi kakakku jadi lambang kegagahan ayah dan adikku jadi lambang kasih sayang ibu.

Aku terjepit. Ayah selalu membela kakakku meskipun setiap kali bertengkar dengannya, aku yang benar. Jika bertengkar dengan adikku, ibu selalu berdiri di belakang ragil busuk itu. Aku? Jadi terbuang. Selalu kalah. Tidak ada pelindung, membuatku tidak betah hidup di rumah. Karenanya, saat aku beranjak remaja, aku menghabiskan malam di luar rumah. Aku pulang untuk makan siang dan tidur.

Ayah gusar. Aku cuek karena aku menemukan kehidupan yang membahagiakan di luar rumah meski penuh bahaya. Tapi hidup di luar rumah telah mendewasakanku sebagai lelaki yang tak gampang menangis. Dan, aku jarang diberi uang jajan oleh ayah, kecuali dengan cara yang menurutku tidak adil.

Agar betah tinggal di rumah, ayah mengajariku ketrampilan menjahit pakaian. Aku lalu digaji dengan uang sepadan dengan pekerjaanku yang tak seberapa. Berbeda dengan kakak-adikku, mereka tinggal menengadahkan tangan, tiba-tiba segalanya terpenuhi.

Lalu kakakku lulus SMU. Ayah melihatku bak anak durhaka. Sampai aku kemudian lulus dari SMU. Tak juga mendapat simpati ayah. Jadi, aku benci ayah setengah mati karena aku tidak mendapat perhatian. Tapi tiba-tiba semua berubah. Saat teman-teman mulai kerja dan menikah, aku melanjutkan kuliah, setelah menganggur satu tahun.

Lambat laun, menjalar rasa simpati ibu kepadaku. Apalagi, aku bisa kerja sambil kuliah di tahun kedua. Juga saat aku mendapat pekerjaan layak setelah lulus kuliah sementara kakakku dan adikku –yang juga lulusan sarjana– masih nganggur di rumah, menjadi beban keluarga.

SESAMPAI di rumah, malam sudah larut. Aku kemudian meminta adikku untuk menemani ibu berjaga di rumah sakit. Tak lagi kuasa untuk menahan kantuk, aku tertidur setelah sempat mengobrol sebentar dengan kakakku. Tetapi, sebelum rasa kantuk menerjang mataku, aku sempat berpesan untuk membangunku tatkala subuh bergema.

Tapi, betapa terkejutnya aku ketika kakakku menggoyang-goyang tubuhku di pagi yang buta itu. Aku tergerap, dan bertanya, “Apa sudah subuh?” Aku merasa mataku masih belum cukup terpejam, dan belum juga kudengar adzan berkumandang.
“Subuh bagaimana? Ayah sudah tiada!”
Deg! Hatiku ciut. Langit-langit gelap. Aku melangkah ke kamar mandi. Membasuh muka. Lalu, ke ruang tamu, menyambut kedatangan jenazah ayah.
Tak selang lama, jenazah ayah tiba. Keluargaku sudah berkumpul, membopong jenazah ayah masuk ke dalam rumah. Sekilas, aku lihat kakak sepupuku, Ahsanudin duduk di teras. Aku tahu ia baru tiba dari rumah sakit, tentunya setelah melunasi biaya perawatan ayah. Aku melangkah, menyalaminya.
“Untung kau cepat tiba! Jadi, keluarga tak perlu repot-repot menunggumu untuk pemakaman nanti,” ucapnya prihatin seraya menggapit tanganku.
“Aku selalu memikirkan ayah, mas! Apalagi sejak kerja dan belum bisa membantu keluarga.”
Hatiku sungguh pedih, ketika itu. Rupanya, dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku. Aku sungguh menyesal belum membalas jasa ayahku, baru bisa mengirimi uang dua ratus ribu, yang sama sekali tak ada artinya bagi ayah.
Tidak ada angin, tak ada hujan, kakak sepupuku bangkit. “Dengan kata lain, kau tidak akan pernah dapat membalas jasa ayahmu meski dengan apa pun.”
Aku termangu. Di cakrawala, kulihat subuh belum merekah. Dan aku menunggu khitmad ayah dikuburkan di siang itu.
GENAP seminggu setelah pemakaman, aku membersihkan kamar ayah. Ibu menyuruhku agar beliau tak terbayang mendiang ayah. Tetapi, ketika aku membuka almari, tempat ayah menyimpan uang, aku tersentak karena menemukan dua lembar uang seratus ribuan, tergeletak penuh dengan debu. Aku berteriak kencang, memanggil-manggil ibu.
Sekitar setengah menit kemudian, di ambang pintu, ibu membuatku tersentak kaget, “Kamu pasti menanyakan tentang uang itu?”
“Kenapa uang itu masih utuh dan belum disentuh ayah, Bu?”
“Ayahmu tak mau menggunakan uang itu untuk membeli obat meski dia sedang sakit di ujung usianya. Aku harap kamu tidak kecewa menemukan uang itu masih utuh!”
Aku termangu, lalu duduk lemas di tepian ranjang. Aku sungguh tak tahu, kenapa ayah masih menganggapku seperti orang lain. Apa aku ini bukan anaknya?

Senin, 05 November 2012

Aku Datang Bersama Lautan



Sambil mendengar lengking burung kematian, aku berdiam di altar langit, bersiap melanjutkan kembali pekerjaanku. Mataku terus saja menyapu tiap adegan yang dipertontonkan Allah; sukma-sukma yang meronta, nafas yang terkubur lumpur, muka yang jengah, mata yang terbelalak, penuh dengan sobekan-sobekan kejadian, seakan tak sanggup menampung kecemasan tentang lautan yang tak lagi ramah. Marah! Kemudian aku melayang-layang di tengah himpitan ketakutan mereka dan aku mengintip sepasang lelaki dan perempuan sedang sibuk dengan kalimat-kalimat.

“Inong, mana Inong, Tengku? Agam, mana Agam, Tengku? Jangan biarkan mereka berdiri di tepi lautan lagi. Jangan biarkan mereka terus berkelakar di tepi lautan lagi, Tengku.”
Seorang lelaki yang dipanggil Tengku tak mau menatap istrinya lagi. Ia tak kuasa. Ia terus bertasbih mengarah kiblat. Komat-kamit doa ia layangkan kepada Allah. Aku sendiri melihat panah doa itu melesat ke arah langit, namun terbentur sesuatu, dan panah doa itu tak lagi punya sayap, kembali ke tanah, berakhir menjadi abu.

“Tengku, ayo cepat bediri, kita tak punya lagi waktu untuk diam. Orang-orang sudah berlari ke tenda-tenda pengungsian. Orang-orang sudah meninggalkan kita. Oh Agam, oh Inong, di manakah kalian berada? Sudah lenyapkah diterkam lautan atau kalian telah selamat, pergi ke tempat-tempat pengungsian bersama mereka? Apakah kalian membawa pakaian, mi instan dan buku-buku pelajaran? Di tenda pengungsian itu kalian harus tetap sekolah agar menjadi orang berilmu. Inong, boneka kesayanganmu masih di sini. Sudah berlumur lumpur, tapi masih lucu seperti katamu. Inong, ibu akan membawakan boneka ini untukmu, sayang.”
“Agam, pistol-pistolanmu juga masih di sini. Ah, ibu masih ingat kalau besar nanti cita-citamu ingin menjadi tentara kan? Cita-citamu itu akan terwujud anakku dan engkau akan membasmi tiap penjahat, persis seperti katamu. Ibu akan membawakan juga untukmu, semoga kita bertemu dengan segera. Tengku, ayo Tengku. Cepat beranjak dari tempat ini. Sebentar lagi lautan akan datang kembali dan kita akan dimangsa dengan segera. Ayo!”

Perempuan itu menjamah tangan Tengku dan menarik-nariknya. Namun lelaki itu tetap saja tak mau memalingkan muka. Ia tetap bertasbih. Cucuran air mata lembut mulai menganak sungai di pipinya. Airmatanya memang tidak ganas seperti lautan yang marah, yang mereka lihat sebelumnya, tapi air mata itu telah membuatku lupa akan tugas yang seharusnya kukerjakan. Airmata itu telah menenggelamkan niatku untuk mengajaknya ke negeri akhirat.

“Tengku, segeralah beranjak dari tempat dudukmu. Sudah waktunya kita berlari. Dengar, aku mendengar kembali kegaduhan di sana. Orang-orang menjerit histeris. Derap langkahnya aku dengar, Tengku. Bukankah kau mendengarnya pula? Mereka sedang dimangsa lautan dan kita pun harus segera menjauh dari tempat ini. Bila tidak, kita akan sama seperti orang-orang yang mendahului kita. Aku tak mau mati hari ini, Tengku. Tapi aku juga tak mau meninggalkanmu. Jadi, marilah kita sama-sama melangkahkan kaki.”
“Kita cari Inong dan Agam. Aku tak mau mereka menangis, aku tak kuasa mendengar mereka merintih mencari-cari kita. Mainan mereka sudah ada dipangkuanku, waktunya untuk memberikan boneka dan pistol-pistolan. Mereka akan terhibur dengan mainan ini, Tengku. Segeralah beranjak dari tempat ini. Lekas. Apa sebenarnya yang kau tunggu? Lautan itu? Oh, tidak. Engkau menunggu lautan itu rupanya. Aku tak mau menunggu lautan. Aku tak mau berperang dengan lautan. Kita akan mati mengenaskan. Lautan terlalu gagah untuk dikalahkan. Lautan terlampau bengis untuk ditaklukan.”

“Aku tak menunggu lautan, Cut Nyak.” Akhirnya suara lelaki itu pun mulai terdengar kendati terbata. Aku tetap khusyuk mengintip obrolan mereka, benar-benar lupa dengan pekerjaanku.
“Lantas jika tak menunggu apa-apa, mengapa engkau masih termenung di tempat ini. Aku tahu engkau meminta pertolongan Allah, tapi bukankah kita bisa bertasbih di tempat lain, di tempat yang aman?”
“Nyut Nyak, bertasbih tidak mengenal tempat dan waktu. Lagi pula, di manakah tempat yang aman itu? Di tempat aman mana yang engkau maksud, istriku? Di tenda-tenda pengungsian itu? Di sana aku rasa dia tak mau datang, terlalu banyak orang, terlalu banyak suara-suara. Lagi pula aku tidak merasa terancam. Takdir tak pernah membuatku terancam. Takdirlah yang membuat hidup kita menjadi aman, Cut Nyak.”
“Apa maksudmu, Tengku? Jadi engkau menunggu seseorang? Siapa? Gubernur? Mentri-mentri? Presiden? Siapa Tengku? Jelaskan kepadaku dengan segera. Kau dengar, kini derap langkah orang-orang tak lagi bersuara, sudah sirna. Suara-suaranya digantikan dengan debur lautan yang pernah kita dengar sebelumnya, yang memisahkan kita dengan Inong dan Agam. Oh, Tengku, suara lautan yang samar-samar itu mulai merambat di telingaku, di telingamu juga kan? Tengku, mari kita pergi dari tempat ini. Suara kematian sudah mulai memburu kita. Deburan keras itu siap mengancam jiwa kita. Aku tak mau mati di sini, Tengku. Inong dan Agam masih membutuhkan kita. Boneka dan pistol-pistolan belum sempat aku berikan.”
“Dia akan datang bersama lautan. Aku sudah merasakannya, Cut Nyak. Tunjukkan wajahmu, tunjukkan wajahmu.”

“Siapa yang akan datang bersama lautan, Tengku? Hanya, hanya malaikat kematian yang datang bersama lautan. Hanya dia yang akan menemani lautan. Mengangkat ruh kita menuju semesta akhirat.”
“Betul Cut Nyak. Malaikat maut yang aku tunggu.”
“Apa? Jadi engkau ingin mati, Tengku? Kau ingin kita mati? Tidak, Tengku. Jangan lakukan itu. Ayo kita pergi. Aku tidak mau bertemu dengan malaikat kematian, aku ingin selamat. Masih ada Inong dan Agam yang harus kita rawat, masih ada harapan yang menunggu kita di masa depan. “Masa depanku sudah berada di hadapanku. Tak berapa lama lagi aku akan bertemu dengan lautan, berjumpa dengan malaikat maut. Keselamatanku berada di tangannya.”
“Ya Allah, air sudah mulai nampak. Lihat, Tengku. Lautan itu begitu ganas dan aku tak bisa berdiam di tempat ini. Lupakan malaikat maut. Mari pergi bersamaku. Kita cari Inong dan Agam.”
Perempuan itu mencoba untuk menarik tangan Tengku berkali-kali. Akhirnya Tengku berdiri, kemudian memeluk istrinya dengan lembut dan mencium keningnya berkali-kali. Wajahnya nampak berseri. Senyum hangatnya membuat Cut Nyak merasa aneh. Lalu akupun menampakan diri dari persembunyianku. Tengku menundukan wajahnya penuh rasa takzim, sementara Cut Nyak menantang dengan sorotan matanya yang tajam dan penuh pertanyaan-pertanyaan.
“Assalamualaikum,” sapa Tengku.
“Waalaikum salam,” jawabku lirih.
“Jadi engkau yang bernama malaikat kematian?”
Nada suara Cut Nyak yang tercekik membuatku terhenyak.
“Aku ingin membawa suamimu ke negeri akhirat.”
“Tidak!”
“Cut Nyak!” hardik Tengku.

Cut Nyak kini berada di depanku dengan sorot mata menantang. “Wahai malaikat maut, jangan engkau renggut suamiku. Betapa aku begitu menyayanginya. Aku tak tahu lagi apakah aku masih bisa hidup tanpa suamiku. Tidak. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa suamiku. Jadi bawalah aku serta bersamanya. Pergi ke negeri akhirat.”
“Aku tak bisa berdamai dengan takdir. Aku hanya menjalankan tugas,” jawabku.
Tengku mencoba untuk memegang bahu Cut Nyak yang mulai menggigil menahan tangis, namun tangannya ia tepis. Kini air mata itu pun mengalir dan Cut Nyak menangis sejadi-jadinya.

Setiap kali aku menjalankan tugas, aku selalu diiringi tangis. Tangisan-tangisan itu sudah biasa aku lihat dan kerap kali memohon agar menunda pekerjaanku, tapi sekali lagi, aku tak bisa berdamai dengan takdir. Takdir adalah hukum yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugasku, pun ini kali.
“Jika engkau tak mau mengajak serta aku, maka tundalah ajakanmu kepada suamiku. Ajaklah lautan itu pergi ke tempatnya, jangan mampir ke tempat ini, jangan biarkan menerkam suamiku. Aku tak sudi kehilangan suamiku.”

Dengan bahasa cinta, Tengku merengkuh kekasihnya,
“Cut Nyak kekasihku, bersetialah dengan takdir. Kita hanya berpisah barang sesaat. Lagi pula lautan itu tidak akan menerkamku. Ia hanyalah kendaraan yang diutus Allah, yang akan membawaku ke sana, ke masa depanku. Masa depanmu adalah mengasuh Inong dan Agam. Sampaikan salamku kepada mereka.”
“Lalu bagaimana jadinya masa depanku tanpa dirimu, Tengku? Masa depanku akan suram tak berkesudahan. Masa depanku akan legam seperti malam. Masa depanku tandas tanpa cintamu.”
Dari arah kejauhan, suara-suara bocah memanggil-manggil mereka. Suara polos tak berdosa mengajak naluri keibunya meninggalkan Tengku seorang diri. Cut Nyak langsung menuju suara itu. Dipeluknya Inong dan Agam, boneka dan pistol-pistolan tak lupa ia berikan.

Kini, aku pun menyelesaikan tugasku. Lautan merengkuh jasad Tengku, aku memapah ruhnya, pergi meninggalkan Cut Nyak, Inong dan Agam. Sekali lagi, tangisan-tangisan mengajakku berdamai dengan takdir.

HARI INI ADA YANG MATI LAGI



Sepulang dari menunaikan shalat subuh di mushalla, Pipin memasuki rumahnya yang hanya bertiang bambu dan beralaskan tanah. Dulu ruangan itu disebut kandang sapi. Sekarang dua ekor sapi warisan kakeknya itu telah tiada. Ayahnya telah menjualnya untuk menebus segala keperluan hidup dari mulai untuk keperluan sekolah anak-anaknya, biaya perawatan ketika emak sakit tulang hingga keperluan sehari-hari.
Lambat laun karena merasa terpepet ekonomi, orang tuanya memutuskan untuk menjual rumah dan memilih bekas kandang sapi sebagai tempat tinggal. Tak nyaman memang. Tetapi hidup ini tak pernah menyodorkan pilihan lain. Dan hidup tetap tak banyak berubah. Toh nyawa emaknyapun tak bisa tertolong juga.
Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, Pipin ingin sekali meringankan beban orang tuanya dengan bekerja apa saja. Tetapi sebagai anak lulusan SMP, dia tak bisa berbuat banyak. Sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMU saja dia tak tega untuk membujuk ayahnya yang kini bekerja sebagai penggali kubur itu untuk membiayainya.

Pipin menghempaskan tubuhnya ditikar disudut rumah. Kemudian Tiwi, adiknya nampak bersiap-siap pergi sekolah dengan seragam putih merahnya. Tak ada secangkir teh apalagi sarapan. Semua anggota keluarga tampak sudah terbiasa dan maklum. Ayahnya tampak sedang bersiap-siap untuk menjalankan tugasnya. Tadi malam Pipin memang mendengar bunyi cangkul yang bergerak-gerak. Pertanda cangkul itu akan segera menggalikan kubur untuk seseorang. Pertanda ayahnya akan mendapat sedikit uang untuk membeli beras dan yang pasti akan ada nasi kardus tahlilan yang akan dapat dinikmati malam nanti.

“Siapa yang meninggal, Pak?” tanya Pipin pelan. “Sumirah, isteri Pak Harno tadi malam meninggal karena terkena flu burung. Syukurlah kita tak punya uang untuk membeli daging ayam sehingga kita terbebas dari flu burung itu,” jawab ayahnya lugu.

Sang ayah pun berangkat untuk menggali kuburan. Tiwi berangkat ke sekolah dan Pipin bersiap-siap ke tempat Bu Hardoyo untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semejak lulus SMP, Pipin memang merelakan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Hardoyo yang tinggal di perumahan seberang kampungnya. Dulu uang tersebut bisa membantu ayahnya untuk membeli beras dan keperluan sehari-hari serta cukup. Tetapi, sejak BBM naik, semua harga barang menjadi naik. Pipin dan ayahnya harus rajin-rajin berhemat agar bisa makan sampai akhir bulan.

Klothek. Klothek. Kletehek. Bulu kuduk Pipin berdiri. Dia sudah sering mendengar bunyi cangkul ayahnya di tengah malam, tapi tetap saja bulu kuduknya berdiri. “Berarti besok akan ada yang meninggal lagi,” pikir Pipin sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh Tiwi yang tidur nyenyak.

Benar! Keesokan paginya, seorang lelaki berpeci menjemput ayahnya untuk menggali kuburan. “Mbah Minem meninggal ketika antri mengambil uang kompensasi BBM di kantor Pos, Pak,” kata lelaki itu. Kenaikan BBM memang banyak menyisakan masalah. Tunjangan salah sasaran, perangkat kelurahan dikeroyok rame-rame karena tak becus mendaftar warga miskin, sampai kematian mbah Minem pagi ini, semuanya membuat Pipin semakin sesak nafas.

Sebenarnya Pipin heran dan bertanya-tanya kenapa ayahnya tak terdaftar sebagai penerima subsidi. Tetapi ayahnya yang memang tak pernah neko-neko itu bilang bahwa ia malu kalau harus protes ke kelurahan. “Mungkin kita masih dianggap sedikit lebih mampu dari orang lain, Pin. Buktinya kau masih bisa bekerja,” begitu ayahnya menasehatinya.

Dengan segera, kedua lelaki itu berjalan beiringan menuju kuburan. Ayahnya akan menggali kubur lagi. Tetapi kali ini nampaknya harus benar-benar ihlas karena Mbah Minem hidup sebatang kara dan penduduk sekitar harus rela bahu membahu mengurus kematiannya. Malam harinya tak sama dengan malam kemarin yang bisa menyantap nasi hasil tahlilan. Kali ini Pipin, Tiwi dan ayahnya hanya bisa makan bubur dan garam. Kali ini tak seorangpun mengirimkan makanan ke rumah ayahnya. Tahlilanmemang tetap diadakan, tapi di musholla dan tanpa makanan.

Merekapun terlelap. Dan, ‘klethek klethek’ bunyi cangkul terdengar lagi. Pipin tersentak dari tidurnya. Segera dia menutup kupingnya rapat-rapat, dan kembali memeluk Tiwi erat-erat. Pagi-pagi, kembali ayahnya sudah dijemput oleh beberapa orang pemuda. Apalagi kalau bukan urusan penggalian kubur. “Pak Haryo meninggal terserempet mikrolet!” kata seorang pemuda dengan wajah muram.
“Kasihan Pak Haryo. Dia yang biasanya naik mikrolet untuk menuju pabriknya terpaksa jalan kaki untuk menghemat uang transportasi, eh malah terserempet mikrolet,” timpal pemuda yang lain. Ayahnyapun pergi bersama pemuda-pemuda itu untuk melaksanakan tugasnya. Pak Haryo juga salah seorang penduduk yang tak mampu. Tak ada harapan ayahnya untuk membawa upah hasil penggalian kuburnya.
“Kita harus ikhlas, Pin. Orang-orang kecil seperti kita ini harus saling membantu. Bapak juga berharap kalau meninggal nanti akan ada orang yang mau menggalikan kubur bagi bapak walau kamu tak mampu membayarnya,” kata ayahnya sambil menelan bubur garam buatan Pipin.
“Kapan ada orang kaya yang meninggal ya, Pak?” Tiwi nyeletuk.
“Hus! Ndak baik mengharapkan kematian orang hanya karena kita ingin upah atas penggalian kuburnya,” tukas ayah tampak tak senang.

Tiwi terdiam. Matanya menerawang. Pipin tahu sudah seminggu ini adiknya merengek, ingin sekali ikut piknik bersama teman-teman sekelasnya ke Borobudur. Tetapi, tentunya Tiwi tahu dalam keadaan ekonomi yang serba susah seperti ini, impiannya tak bakalan terwujud. Jangankan ikut piknik, sedang uang seragam sekolahpun belum terbayar. Ingin sekali Pipin mewujudkan semua impian adiknya. Tetapi Pipin tak tahu caranya. Dipandanginya wajah adiknya yang pelan-pelan mulai menuju alam mimpi,
Klethek. Klethek, Klethek. Klethek. Cangkul dan keranda berbunyi lagi. Serta merta Pipin dan ayahnya berpandangan.

“Tidurlah!” Ayahnya mencoba mengalihkan perhatian Pipin. Pipin mencoba tertidur sambil mengira-ira giliran siapa gerangan yang akan dijemput malaikat Izrail.

Pagi ini tak ada seorangpun yang menyusul ayahnya untuk menggali kuburan. Berarti belum ada kematian. Siapakah yang akan meninggal hari ini? Pikir Pipin. Tetapi Pipin segera melupakan bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Tiwi berangkat ke sekolah. Ayahnya memulai aktivitas bersih-bersih rumah dan Pipin berangkat ke rumah Bu Hardoyo untuk bekerja.

Seperti biasa, Pipin langsung menuju tumpukan baju kotor untuk dicucinya. Bu dan Pak Hardoyo segera menuju ke tempat kerjanya dengan vespa merah meninggalkan Pipin dengan segala urusan cuci mencuci, bersih-bersih rumah dan menanak nasi. Pipin mulai menata baju-baju kotor ke dalam bak cucian. Ada jaket, celana dalam, BH, rok, hingga celana panjang. Tiba-tiba Pipin merasa ada sesuatu yang mengganjal di saku celana panjang milik Pak Hardoyo. Pipin memasukkan tangannya ke ke saku celana itu. Uang! Dua lembar ”lima puluhan ribu” dan empat lembar “sepuluhan ribu”. Diambilnya uang itu dan di letakkannya di meja makan.

Pipin kembali sibuk dengan aktivitas mencucinya. Tiba-tiba wajah Tiwi terlintas di benaknya. Wajah rembulan yang dikurung awan lantaran kesedihannya tak bisa ikut piknik bersama teman-temannya. Seketika juga Pipin ingat uang temuannya itu. Cepat-cepat dia menuju meja makan dan dimasukkannya uang itu ke saku bajunya. Tetapi kemudian dia juga ingat ayahnya. Ayahnya pasti akan marah besar kalau tau dia mengambil uang orang. Pasti ayahnya akan kecewa. Pipin tak sanggup membayangkan kekecewaan ayahnya.

Pipin buru-buru meletakkan uang tersebut di meja makan lagi. Begitulah hati Pipin diliputi keraguan sehingga ia bolak-balik dari sumur ke meja makan untuk mengambil dan mengembalikan uang tersebut. Tak akan ada orang tau tentang ini. Pak Hardoyo itu orang yang sangat ceroboh. Tak mungkin dia ingat kalau sudah menyimpan uang di saku celananya. Pak Hardoyo saja tak tahu apalagi ayahmu.
Tetapi, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Hardoyo ingat uang itu dan tau kalau kau yang mengambilnya? Keluarga Hardoyo akan memecatmu! Mau makan apa nanti keluargamu? Ah kalau nanti keluarga Hardoyo bertanya masalah uang itu, aku kan bisa pura-pura tak tahu, pasti tak tak akan ketahuan. Dan lihatlah, betapa mata Tiwi akan berbinar-binar melihat kau membawa uang untuk pikniknya. Bukankah sudah lama kau tak melihat keceriaan Tiwi?
Cepat-cepat dimasukkannya uang itu ke kantong bajunya. Pipin tak mau menimbang-nimbang lagi. Dia takut pikirannya akan berubah.

Sore hari Pipin kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga keluarga Hardoyo dan pamit dengan Bu Hardoyo dengan agak sedikit gugup. Dengan langkah riang dia mencari-cari Tiwi. Tiwi belum ada di rumah. Pipin menanti kedatangan Tiwi dengan tak sabar. Malampun datang menyelimuti kampungnya. Tiwi belum pulang juga. Pipin dan ayahnya mulai panik. Mereka segera mencari ke rumah teman-temannya. Tak seorangpun mengetahui keberadaan Tiwi.

Tepat jam sepuluh malam. Penjaga sekolah Tiwi datang mengabarkan Tiwi ditemukan tewas dalam gantungan di kamar mandi sekolah! Pipin teringat bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Rupanya yang meninggal hari ini adalah Tiwi! Pipin menjerit ketika tubuh Tiwi yang sudah tak bernyawa itu dibawa ke rumahnya. Dirabanya uang haram yang ada di sakunya yang ternyata tak bisa membahagiakan adiknya.
Bunyi ‘klethek klethek’ cangkul ayahnya didengarnya semakin keras saja. Hari ini giliran kuburan Tiwi yang dicangkul oleh ayahnya. Pipin berharap, besok siang ayahnya akan menggali kubur untuknya.

Minggu, 04 November 2012

Anakku Malas Belajar

Pada artikel sebelum ini telah dibahas mengenai kebutuhan anak untuk bermain. Pada artikel ini akan dibahas mengenai anak belajar. Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (pr) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh orangtua.

Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, “Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu”.

Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, “Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu…. Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal”.

Penyebab
Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu).
2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang “kacau” karena ada adik baru).
3. Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
4. Sedang sakit.
5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
6. Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS.
Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).
Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.
Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar
Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak?
Berikut ini adalah beberapa buah saran:
1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan “Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya”.
3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan “Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama”. Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.
4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning trough playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.
Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan
Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah:
1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama.
5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu.
Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajar.